Apakah jalur riset kita sudah banyak memberikan kontribusi untuk masalah riil yang dihadapi masyarakat?
Nice article to read "Paradigms in accounting research: A view from North America"
by Kenneth A. Merchant
please click this to read further, below is the abstract:
"The highest ranked U.S. business schools value, almost exclusively, publications in academic journals deemed to be “A-level” and high quantities of SSCI citations. But the so-called A-level journals, which typically are said to be five in number or less, publish predominantly empirical tests of economics-based models using large, archival data sets. Motivating researchers to publish papers that are situated only in these journals and that gather high quantities of SSCI citations, which are more likely if the publications are in mainstream topic areas, reduces topic, discipline, and research method diversity. The loss of diversity is costly to the schools themselves, the academy and, indeed, society. The narrow focus of the U.S. business schools provides a great opportunity for business schools in Europe and other parts of the world to take a leadership position in many important research areas. But that opportunity will be lost if those schools try to emulate the U.S. business school model."
Jumat, 20 Januari 2012
KLASIFIKASI ASET KEUANGAN DI BUMN NON-LEMBAGA-KEUANGAN:
TINJAUAN PENDAHULUAN PENERAPAN PSAK 50 dan 55
Aria Farahmita, Staf
pengajar FEUI dan Insruktur IAI
Ketika PSAK 50 dan 55 tentang Instrumen Keuangan akan diberlakukan
pada 1 Januari 2009, banyak kalangan usaha, terutama lembaga keuangan, merasakan
sulitnya menerapkan PSAK ini karena kompleksnya pengukuran dan tingginya
persyaratan akan pengungkapan minimum pada Catatan atas Laporan Keuangan. PSAK
50 dan 55 merupakan serangkaian program konvergensi IFRS, sehingga sebagian
besar sesuai dengan Standar Akuntansi Internasional, yaitu IAS No. 32 dan IAS
No. 39. PSAK 50 dan 55 berdampak sangat besar bagi entitas yang bergerak di
bidang jasa keuangan dan perbankan, karena sebagian aset dan liabilitas yang
dimilikinya berupa instrumen keuangan. Walaupun sempat ditunda
pemberlakukannya, akhirnya pada 1 januari 2010, PSAK ini dinyatakan berlaku
efektif sejak 1 Januari 2010. Bagaimana hal nya dengan BUMN non-lembaga
keuangan, apakah PSAK 50 dan 55 tersebut juga mempunyai dampak yang besar
terhadap Laporan Keuangannya? Untuk dapat mengetahui dampak PSAK tersebut, kita
perlu membahas instrumen keuangan apa saja yang mungkin dimiliki oleh BUMN non-lembaga
keuangan agar dapat diprediksi dampaknya. Artikel ini hanya membahas mengenai
klasifikasi aset keuangan dan tidak membahas jenis instrumen keuangan lain yang
juga diatur dalam PSAK 50 dan 55 seperti liabilitas keuangan dan instrumen
ekuitas.
Menurut
PSAK 50 dan 55, klasifikasi aset keuangan bergantung pada tujuan perolehan atau
akuisisi aset keuangan tersebut dan ditentukan pada saat pengakuan awal.
Klasifikasi ini lah yang akan menentukan perlakuan akuntansi untuk aset
keuangan tersebut. Terdapat beberapa kategori aset keuangan menurut PSAK 50 dan
55, yaitu sebagai berikut:
1.
Kas
Kas terdiri atas saldo kas dan rekening giro. Kas disajikan
pada nilai nominalnya.
2.
Aset Keuangan Diukur pada Nilai Wajar melalui
Laporan Laba Rugi
Aset keuangan yang termasuk ke dalam kategori ini adalah aset keuangan yang memenuhi salah satu kondisi berikut ini:
-
Diklasifikasikan
dalam kelompok diperdagangkan, yaitu jika diperoleh atau dimiliki terutama
untuk tujuan dijual atau dibeli kembali dalam waktu dekat, merupakan bagian
dari portofolio instrumen keuangan tertentu yang dikelola bersama dan terdapat
bukti mengenai pola ambil untung dalam jangka pendek (short term profit taking), atau merupakan derivatif, kecuali
instrumen lindung nilai yang ditetapkan dan efektif; atau
-
Pada saat pengakuan
awal telah ditetapkan oleh entitas untuk diukur pada nilai wajar melalui
laporan laba rugi. Tujuan dimilikinya aset ini mungkin saja bukan untuk
diperdagangkan, namun entitas sengaja mengelompokkannya pada kategori ini agar
pengukurannya menggunakan nilai wajar.
Aset keuangan ini diukur pertama kali dan selanjutnya menggunakan
nilai wajar. Biaya transaksi perolehan aset dibebankan ke Laporan Laba Rugi
pada saat terjadinya. Selisih penilaian nilai wajar diakui di Laporan Laba Rugi.
3.
Investasi Dimiliki hingga Jatuh Tempo
Syarat suatu investasi dapat dikelompokkan sebagai Dimiliki hingga
Jatuh Tempo, yaitu:
-
Berupa aset
keuangan non-derivatif dengan pembayaran tetap atau telah ditentukan dan jatuh
temponya telah ditetapkan; dan
-
Terdapat intensi
positif dan kemampuan untuk memiliki aset keuangan tersebut hingga jatuh tempo,
yang dinilai pada pertama kali diakuinya aset dan juga dinilai pada setiap
tanggal akhir periode.
Entitas dikatakan tidak memiliki intensi positif, jika belum
menetapkan periode kepemilikan investasi, atau bermaksud menjual sewaktu-waktu,
atau penerbit memiliki hak untuk menyelesaikan pada suatu jumlah yang secara
signifikan lebih rendah dari biaya perolehan diamortisasi.
Entitas dikatakan tidak memiliki kemampuan untuk memiliki investasi
hingga jatuh tempo jika entitas tidak memiliki sumber daya keuangan yang
tersedia untuk melanjutkan pendanaan investasi tersebut hingga jatuh tempo,
atau entitas merupakan subyek dari peraturan hukum yang berlaku atau batasan-
batasan lain yang dapat mengganggu intensinya untuk memiliki aset keuangan
hingga jatuh tempo.
Investasi Dimiliki hingga Jatuh Tempo diakui pertama kali pada nilai
wajarnya ditambah biaya transaksi. Pengukuran selanjutnya menggunakan biaya
perolehan diamortisasi. Amortisasi bunga menggunakan suku bunga efektif.
4.
Pinjaman yang Diberikan dan Piutang
Yang diklasifikasikan sebagai Pinjaman yang Diberikan dan Piutang
adalah Instrumen non-derivatif dengan pembayaran tetap atau telah ditentukan
dan tidak mempunyai kuotasi di pasar aktif. Pada saat pengakuan awal, pinjaman
yang diberikan dan piutang diakui pada nilai wajarnya ditambah biaya transaksi
dan selanjutnya diukur pada biaya perolehan diamortisasi dengan menggunakan
metode suku bunga efektif.
5.
Aset keuangan Tersedia untuk Dijual
Aset yang diklasifikasikan sebagai Tersedia untuk Dijual adalah:
Aset non-derivatif yang ditetapkan sebagai Tersedia untuk Dijual; atau
aset non-derivatif yang tidak diklasifikasikan sebagai kategori Diukur pada
Nilai Wajar melalui Laporan Laba Rugi, tidak dimiliki hingga Jatuh Tempo, atau bukan
merupakan Investasi dalam bentuk instrumen ekuitas yang dicatat pada biaya
perolehan.
Aset keuangan
Tersedia untuk Dijual pada saat awal diakui pada nilai wajarnya ditambah dengan
biaya transaksi. Selanjutnya aset ini diukur pada nilai wajar, dengan selisih
penyesuaian nilai wajar diakui sebagai pendapatan komprehensif lain.
Aset keuangan berupa investasi pada instrumen saham kadangkala
berbentuk saham yang mempunyai tidak mempunyai kuotasi harga pasar aktif.
Ketika investasi ini dikategorikan sebagai Tersedia untuk Dijual, maka entitas
harus mengukur pada Nilai Wajar. Untuk itu, pada investasi saham yang tidak
tersedia kuotasi harga di pasar aktif, maka nilai wajarnya perlu diestimasi
secara andal. Jika entitas tidak dapat mengukur nilai wajarnya secara andal,
maka investasi tersebut dicatat pada biaya perolehan.
PSAK mengatur perlakuan akuntansi atas reklasifikasi antar kategori
aset keuangan ini. Ketika entitas memiliki aset keuangan kategori Diukur dengan
Nilai Wajar melalui Laporan Laba Rugi, maka entitas tidak diperbolehkan melakukan
reklasifikasi ke kategori aset keuangan yang lain. Demikian sebaliknya, aset
keuangan kategori lain tidak dapat direklasifikasikan ke aset keuangan Diukur pada
Nilai Wajar melalui Laporan Laba Rugi. Untuk investasi Dimiliki hingga Jatuh
Tempo dapat direklasifikasi ke kategori Tersedia untuk Dijual, namun pada saat
itu pula entitas diharuskan mereklasifikasikan seluruh investasi Dimiliki
hingga Jatuh Tempo ke kategori Tersedia untuk Dijual dan sampai 2 tahun ke
depan entitas tidak diperkenankan memiliki investasi Dimiliki hingga Jatuh
Tempo. Ketentuan ini disebut Tainting
Rule. Entitas juga dapat mereklasifikasikan aset keuangan dari kategori Tersedia
untuk Dijual ke kategori Dimiliki hingga Jatuh Tempo sepanjang kondisi atau
persyaratan sebagai Dimiliki hingga Jatuh Tempo dapat terpenuhi.
Aset keuangan yang biasanya dimiliki oleh BUMN non-lembaga keuangan
adalah:
1.
Kas dan Deposito
Deposito berjangka waktu kurang dari atau sampai dengan 3
bulan termasuk kelompok “setara kas,” yaitu investasi yang berjangka waktu
sangat pendek dan dapat segera dikonversi menjadi kas dalam jumlah yang telah
ditentukan dan tidak mengalami risiko perubahan nilai yang signifikan. Setara
kas termasuk ke dalam kategori “Pinjaman yang Diberikan dan Piutang” karena merupakan
instrumen non-derivatif, tidak mempunyai harga kuotasi di pasar aktif dan
mempunyai pembayaran yang telah ditentukan (pembayaran bunga). Deposito yang
berjangka waktu lebih dari 3 bulan juga termasuk dalam kategori “Pinjaman yang
Diberikan dan Piutang,” namun disajikan sebagai investasi jangka pendek dalam
kelompok aset lancar.
2.
Piutang
Jenis piutang yang biasanya dimiliki oleh BUMN non-lembaga
keuangan terutama berasal dari piutang usaha akibat penjualaan produk barang
atau jasa, piutang pinjaman antar pihak berelasi, atau dapat juga berupa
piutang pinjaman karyawan. Piutang tersebut termasuk ke dalam kategori
“Pinjaman yang Diberikan dan Piutang,” karena piutang ini bersifat
non-derivatif dan tidak mempunyai harga kuotasi di pasar aktif.
3.
Investasi Saham - Penyertaan langsung
Penyertaan langsung yang dimiliki oleh BUMN non-lembaga
keuangan dapat merupakan investasi yang mempunyai pengaruh signifikan atau
tidak mempunyai pengaruh signifikan. Pengaruh signifikan dapat dibuktikan
misalnya mempunyai perwakilan Direktur di jajaran Direksi atau dengan
kepemilikan lebih dari 20%. Sedangkan untuk penyertaan langsung yang tidak mempunyai
pengaruh signifikan biasanya ditandai dengan kepemilikan kurang dari 20% dan
tidak terdapat bukti lain yang menunjukkan adanya pengauh signifikan.
Investasi saham dengan pengaruh signifikan diatur oleh PSAK
No. 15 tentang Investasi pada Entitas Asosiasi dan diukur menggunakan metode
ekuitas. Investasi saham yang tidak mempunyai pengaruh signifikan termasuk ke
dalam kategori Aset Keuangan “Tersedia untuk Dijual,” menurut PSAK 55, yang
diukur pada Nilai Wajar. Investasi penyertaan langsung kadang-kala dilakukan
pada entitas yang tidak terdaftar di Bursa saham, sehingga tidak mempunyai
harga kuotasi di pasar aktif. Dalam hal tidak tersedia pengukuran nilai wajar
yang andal, maka investasi ini akan diukur pada biaya perolehan.
4.
Investasi dalam obligasi atau surat hutang
Investasi dalam instrumen utang seperti Obligasi atau Surat
Utang dapat termasuk ke dalam kategori Investasi “Diukur pada nilai wajar
melalui Laporan Laba Rugi,” “Dimiliki hingga Jatuh Tempo,” atau dapat juga
termasuk kategori “Tersedia untuk Dijual,” tergantung tujuan perolehan
investasi dan pemenuhan kriteria pada masing-masing kategori yang telah
dijelaskan pada bagian awal tulisan ini. Jika investasi ini diperoleh untuk
diperdagangkan atau diukur dengan nilai wajar, maka dapat dikategorikan kedalam
investasi “Diukur pada nilai wajar melalui laporan laba rugi”. Jika manajemen
bertujuan memegang instrumen ini hingga jatuh tempo dan entitas mampu
mewujudkannya, maka dapat dikategorikan sebagai Investasi “Dimiliki hingga Jatuh
Tempo.” Sedangkan jika tujuannya tidak ingin dipegang sampai jatuh tempo dan
tidak juga untuk diperdagangkan, maka dapat diklasifikasikan sebagai Investasi “Tersedia
untuk Dijual.” Klasifikasi harus ditentukan di awal perolehan, sesuai tujuan
manajemen, agar selanjutnya dapat ditentukan perlakuan akuntansi masing-masing mengenai
pengakuan, pengukuran dan penyajian yang diatur oleh PSAK.
(artikel ini telah dipublikasikan pada Majalah BUMN Track edisi bulan Desember 2011)
Akuntansi untuk Properti Investasi
LEBIH JAUH MENGENAL STANDAR AKUNTANSI UNTUK PROPERTI INVESTASI
Aria Farahmita
Staf Pengajar Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia dan Instruktur
Ikatan Akuntan Indonesia (IAI)
Properti Investasi menurut
pengertian di PSAK No. 13 (revisi 2008) tentang Properti Investasi adalah
properti (tanah atau bangunan atau bagian dari bangunan atau keduanya) yang
dimiliki atau dikuasai untuk menghasilkan rental atau untuk kenaikan nilai atau
kedua-duanya. Properti ini tidak dimaksudkan untuk digunakan sendiri oleh entitas
ataupun untuk dijual dalam kegiatan usaha sehari-hari. Properti yang digunakan
untuk produksi atau tujuan administratif, seperti ruang kantor merupakan aset
tetap, sedangkan properti yang dijual dalam kegiatan usaha sehari-hari
merupakan persediaan.
Contoh properti investasi adalah
tanah yang dimiliki untuk tujuan jangka panjang memperoleh kenaikan nilai dan
bukan untuk tujuan jangka pendek dalam kegiatan sehari-hari, bangunan yang
dimiliki entitas dan disewakan kepada pihak lain (sewa operasi), bangunan yang
belum terpakai tetapi tersedia untuk disewakan kepada pihak lain.
Sering terjadi entitas menyewakan
propertinya kepada perusahaan induk atau anak perusahaan lainnya, dalam hal ini
properti tidak termasuk ke dalam properti investasi pada Laporan Keuangan
Konsolidasian karena properti tersebut dari sudut pandang grup merupakan properti
yang digunakan sendiri.
Pada saat perolehan, properti
investasi, sama dengan pengakuan aset pada umumnya, diakui pada biaya
perolehan. Biaya perolehan dari properti investasi
yang dibeli meliputi harga pembelian dan setiap pengeluaran yang dapat
diatribusikan secara langsung (biaya transaksi), misalnya biaya jasa hukum,
pajak penjualan, dan biaya transaksi lainnya.
Selanjutnya,
entitas mengukur properti investasi menggunakan dua pilihan, yaitu 1) model
biaya, atau 2) model nilai wajar. Pilihan kebijakan akuntansi ini harus
diterapkan sama untuk seluruh properti investasi yang dimiliki entitas. Namun, untuk
properti investasi yang menjadi agunan liabilitas yang menghasilkan imbalan
yang terkait langsung dengan nilai wajar dari properti investasi tersebut,
entitas dapat menerapkan kebijakan akuntansi (model biaya atau model nilai
wajar) yang berbeda, atau dapat juga sama dengan properti investasi lainnya.
Model biaya yang dimaksud disini
adalah model biaya yang sama dengan yang diatur dalam standar akuntansi untuk
Aset Tetap (PSAK No. 16 tentang Aset Tetap). Penerapan model biaya mensyaratkan
entitas menyajikan properti investasi pada biaya perolehan dikurangi akumulasi
depresiasi. Selain itu, penerapan model biaya mengimplikasikan perlunya telaah
kemungkinan adanya penurunan nilai
(sebagaimana diatur di PSAK No. 48 tentang Penurunan Nilai).
Jika entitas memilih pengukuran
menggunakan nilai wajar, maka untuk setiap tanggal neraca, entitas harus
menghitung nilai wajar dari properti investasi. Keuntungan atau kerugian dari
perubahan nilai wajar atas properti investasi diakui dalam laba rugi periode
berjalan.
Bagaimana mengukur nilai wajar properti
investasi? PSAK No. 13 menjelaskan, yang dimaksud dengan nilai wajar properti
investasi adalah harga yang mana properti dipertukarkan antara pihak-pihak yang
memiliki pengetahuan memadai dan berkeinginan dalam suatu transaksi yang wajar
(arm’s length transaction). Nilai
wajar yang ditentukan adalah nilai wajar tanpa dikurangi dengan biaya transaksi
yang mungkin timbul dari penjualan atau pelepasan properti investasi.
Acuan terbaik nilai wajar yang
digunakan adalah berdasarkan harga kini dalam pasar aktif untuk properti serupa
dalam lokasi dan kondisi yang serupa. Namun harga ini belum tentu tersedia
karena pasar aktif properti belum tentu tersedia. Dalam kondisi tidak
tersedianya harga di pasar aktif, maka entitas dapat menentukan nilai wajar
dengan mempertimbangkan informasi dari berbagai sumber, diantaranya:
-
harga kini dalam pasar aktif untuk properti
serupa di lokasi yang berbeda, kemudian disesuaikan untuk perbedaan lokasi
tersebut
-
harga terakhir
properti serupa dalam pasar yang kurang aktif,
dengan penyesuaian untuk mencerminkan adanya perubahan dalam kondisi ekonomi
sejak tanggal transaksi terjadi pada harga tersebut
-
nilai kini estimasi
arus kas masa depan (metode discounted
cash flow) menggunakan tingkat diskonto yang mencerminkan risiko atas
ketidak pastian dalam jumlah dan waktu arus kas
Properti investasi yang diukur
menggunakan nilai wajar tidak perlu disusutkan, karena entitas selalu
menyajikan nilai wajarnya setiap tanggal akhir periode pelaporan keuangan,
sehingga penyusutan yang dilakukan tidak akan memberikan pengaruh apa pun
terhadap nilai yang akan disajikan di laporan keuangan.
Dalam memilih kebijakan akuntansi
apakah ingin menggunakan model biaya atau model nilai wajar, beberapa
pertimbangan yang perlu diperhatikan diantaranya ketersediaan harga di pasar
aktif. Jika tidak tersedia, apakah estimasi nilai wajar dapat ditentukan dengan
andal? PSAK No. 13 mengatur jika nilai wajar yang andal tidak tersedia, maka
entitas harus menggunakan model biaya dan nilai residu yang ditetapkan dalam
menghitung depresiasi adalah nol. Apakah entitas dapat menggunakan bantuan
tenaga ahli jasa penilai dalam menentukan nilai wajar? Tentu saja bisa, namun
entitas hendaknya juga memperhitungkan biaya yang akan dikeluarkan dalam
memperoleh informasi nilai wajar dari tenaga ahli tersebut.
Perlu diperhatikan walaupun
entitas memilih model biaya untuk mengukur properti investasinya, entitas
diwajibkan tetap mengungkapkan nilai wajar properti investasi dalam catatan
atas laporan keuangan. Termasuk pengungkapan jika entitas tidak dapat menentukan
nilai wajarnya secara andal, entitas juga harus mengungkapkan rentang estimasi
dimana nilai wajar kemungkinan besar berada.
Sedikit kembali ke ruang lingkup
properti investasi, terkadang beberapa entitas memiliki properti (misal tanah)
yang menganggur, yang belum ditentukan penggunaannya. Karena sifatnya yang
menganggur dan belum ditentukan penggunaannya, banyak entitas terkadang selama
ini memasukkan aset tersebut di kelompok aset lain.Tanah yang semacam ini
menurut PSAK 13 harus diakui sebagai tanah yang dimiliki dalam rangka kenaikan
nilai. Sehingga tanah ini termasuk ke dalam properti investasi. Walaupun
entitas dapat memilih untuk mengukur menggunakan model biaya, namun jangan lupa
bahwa entitas juga harus mengungkapkan nilai wajar dari aset ini di catatan
atas laporan keuangan.
Saat ini Dewan Standar SAK sudah
menerbitan Eksposur Draft Revisi PSAK No. 13 (tahun 2011) yang rencananya akan
berlaku efektif secara prospektif pada 1 Januari 2012. Revisi yang dilakukan
salah satunya mengenai konstruksi/pembangunan aset yang nantinya akan dikelompokkan
sebagai properti investasi. Misal, pembangunan gedung yang sedang berjalan dan
setelah pembangunan selesai, gedung itu akan disewakan dan termasuk ke dalam properti
investasi. Bagaimana pembangunan aset tersebut diklasifikasikan dalam laporan
keuangan? Sebelum adanya eksposur draft ini, aset semacam itu dikelompokkan
kedalam aset tetap dan diukur menggunakan model biaya. Dengan adanya revisi
ini, aset tersebut langsung dikelompokkan sebagai properti investasi sehingga
tersedia alternatif pengukuran menggunakan model biaya atau nilai wajar. Perlu
diingat bahwa menghitung nilai wajar aset yang sedang dalam tahap pembangunan
mungkin sulit, dalam hal ini draft revisi PSAK 13 tersebut mengatur tentang
pengukuran nilai wajar untuk properti investasi dalam tahap pembangunan.
Sumber:
- PSAK No. 13 (Revisi 2007)
tentang Properti Investasi
- Eksposur Draft PSAK No. 13
(Revisi 2011) tentang Properti Investasi
- IAS 40 (2008): Investment
Property
(artikel ini telah dipublikasikan pada Majalah BUMN Track edisi Oktober 2011)
Langganan:
Postingan (Atom)