Jumat, 20 Januari 2012

Paradigma Riset Akuntansi... Main Stream or Not, is it matter?

Apakah jalur riset kita sudah banyak memberikan kontribusi untuk masalah riil yang dihadapi masyarakat?

Nice article to read "Paradigms in accounting research: A view from North America"
by Kenneth A. Merchant
please click this to read further, below is the abstract:

"The highest ranked U.S. business schools value, almost exclusively, publications in academic journals deemed to be “A-level” and high quantities of SSCI citations. But the so-called A-level journals, which typically are said to be five in number or less, publish predominantly empirical tests of economics-based models using large, archival data sets. Motivating researchers to publish papers that are situated only in these journals and that gather high quantities of SSCI citations, which are more likely if the publications are in mainstream topic areas, reduces topic, discipline, and research method diversity. The loss of diversity is costly to the schools themselves, the academy and, indeed, society. The narrow focus of the U.S. business schools provides a great opportunity for business schools in Europe and other parts of the world to take a leadership position in many important research areas. But that opportunity will be lost if those schools try to emulate the U.S. business school model."

KLASIFIKASI ASET KEUANGAN DI BUMN NON-LEMBAGA-KEUANGAN: TINJAUAN PENDAHULUAN PENERAPAN PSAK 50 dan 55
Aria Farahmita, Staf pengajar FEUI dan Insruktur IAI

Ketika PSAK 50 dan 55 tentang Instrumen Keuangan akan diberlakukan pada 1 Januari 2009, banyak kalangan usaha, terutama lembaga keuangan, merasakan sulitnya menerapkan PSAK ini karena kompleksnya pengukuran dan tingginya persyaratan akan pengungkapan minimum pada Catatan atas Laporan Keuangan. PSAK 50 dan 55 merupakan serangkaian program konvergensi IFRS, sehingga sebagian besar sesuai dengan Standar Akuntansi Internasional, yaitu IAS No. 32 dan IAS No. 39. PSAK 50 dan 55 berdampak sangat besar bagi entitas yang bergerak di bidang jasa keuangan dan perbankan, karena sebagian aset dan liabilitas yang dimilikinya berupa instrumen keuangan. Walaupun sempat ditunda pemberlakukannya, akhirnya pada 1 januari 2010, PSAK ini dinyatakan berlaku efektif sejak 1 Januari 2010. Bagaimana hal nya dengan BUMN non-lembaga keuangan, apakah PSAK 50 dan 55 tersebut juga mempunyai dampak yang besar terhadap Laporan Keuangannya? Untuk dapat mengetahui dampak PSAK tersebut, kita perlu membahas instrumen keuangan apa saja yang mungkin dimiliki oleh BUMN non-lembaga keuangan agar dapat diprediksi dampaknya. Artikel ini hanya membahas mengenai klasifikasi aset keuangan dan tidak membahas jenis instrumen keuangan lain yang juga diatur dalam PSAK 50 dan 55 seperti liabilitas keuangan dan instrumen ekuitas.

Menurut PSAK 50 dan 55, klasifikasi aset keuangan bergantung pada tujuan perolehan atau akuisisi aset keuangan tersebut dan ditentukan pada saat pengakuan awal. Klasifikasi ini lah yang akan menentukan perlakuan akuntansi untuk aset keuangan tersebut. Terdapat beberapa kategori aset keuangan menurut PSAK 50 dan 55, yaitu sebagai berikut:
1.       Kas
Kas terdiri atas saldo kas dan rekening giro. Kas disajikan pada nilai nominalnya.
2.       Aset Keuangan Diukur pada Nilai Wajar melalui Laporan Laba Rugi
Aset keuangan yang termasuk ke dalam kategori ini adalah aset keuangan yang memenuhi salah satu kondisi berikut ini:
-          Diklasifikasikan dalam kelompok diperdagangkan, yaitu jika diperoleh atau dimiliki terutama untuk tujuan dijual atau dibeli kembali dalam waktu dekat, merupakan bagian dari portofolio instrumen keuangan tertentu yang dikelola bersama dan terdapat bukti mengenai pola ambil untung dalam jangka pendek (short term profit taking), atau merupakan derivatif, kecuali instrumen lindung nilai yang ditetapkan dan efektif; atau
-          Pada saat pengakuan awal telah ditetapkan oleh entitas untuk diukur pada nilai wajar melalui laporan laba rugi. Tujuan dimilikinya aset ini mungkin saja bukan untuk diperdagangkan, namun entitas sengaja mengelompokkannya pada kategori ini agar pengukurannya menggunakan nilai wajar.
Aset keuangan ini diukur pertama kali dan selanjutnya menggunakan nilai wajar. Biaya transaksi perolehan aset dibebankan ke Laporan Laba Rugi pada saat terjadinya. Selisih penilaian nilai wajar diakui di Laporan Laba Rugi.
3.       Investasi Dimiliki hingga Jatuh Tempo
Syarat suatu investasi dapat dikelompokkan sebagai Dimiliki hingga Jatuh Tempo, yaitu:
-          Berupa aset keuangan non-derivatif dengan pembayaran tetap atau telah ditentukan dan jatuh temponya telah ditetapkan; dan
-          Terdapat intensi positif dan kemampuan untuk memiliki aset keuangan tersebut hingga jatuh tempo, yang dinilai pada pertama kali diakuinya aset dan juga dinilai pada setiap tanggal akhir periode.
Entitas dikatakan tidak memiliki intensi positif, jika belum menetapkan periode kepemilikan investasi, atau bermaksud menjual sewaktu-waktu, atau penerbit memiliki hak untuk menyelesaikan pada suatu jumlah yang secara signifikan lebih rendah dari biaya perolehan diamortisasi.
Entitas dikatakan tidak memiliki kemampuan untuk memiliki investasi hingga jatuh tempo jika entitas tidak memiliki sumber daya keuangan yang tersedia untuk melanjutkan pendanaan investasi tersebut hingga jatuh tempo, atau entitas merupakan subyek dari peraturan hukum yang berlaku atau batasan- batasan lain yang dapat mengganggu intensinya untuk memiliki aset keuangan hingga jatuh tempo.

Investasi Dimiliki hingga Jatuh Tempo diakui pertama kali pada nilai wajarnya ditambah biaya transaksi. Pengukuran selanjutnya menggunakan biaya perolehan diamortisasi. Amortisasi bunga menggunakan suku bunga efektif.


4.       Pinjaman yang Diberikan dan Piutang
Yang diklasifikasikan sebagai Pinjaman yang Diberikan dan Piutang adalah Instrumen non-derivatif dengan pembayaran tetap atau telah ditentukan dan tidak mempunyai kuotasi di pasar aktif. Pada saat pengakuan awal, pinjaman yang diberikan dan piutang diakui pada nilai wajarnya ditambah biaya transaksi dan selanjutnya diukur pada biaya perolehan diamortisasi dengan menggunakan metode suku bunga efektif.

5.       Aset keuangan Tersedia untuk Dijual
Aset yang diklasifikasikan sebagai Tersedia untuk Dijual adalah:
Aset non-derivatif yang ditetapkan sebagai Tersedia untuk Dijual; atau aset non-derivatif yang tidak diklasifikasikan sebagai kategori Diukur pada Nilai Wajar melalui Laporan Laba Rugi, tidak dimiliki hingga Jatuh Tempo, atau bukan merupakan Investasi dalam bentuk instrumen ekuitas yang dicatat pada biaya perolehan.

Aset keuangan Tersedia untuk Dijual pada saat awal diakui pada nilai wajarnya ditambah dengan biaya transaksi. Selanjutnya aset ini diukur pada nilai wajar, dengan selisih penyesuaian nilai wajar diakui sebagai pendapatan komprehensif lain.

Aset keuangan berupa investasi pada instrumen saham kadangkala berbentuk saham yang mempunyai tidak mempunyai kuotasi harga pasar aktif. Ketika investasi ini dikategorikan sebagai Tersedia untuk Dijual, maka entitas harus mengukur pada Nilai Wajar. Untuk itu, pada investasi saham yang tidak tersedia kuotasi harga di pasar aktif, maka nilai wajarnya perlu diestimasi secara andal. Jika entitas tidak dapat mengukur nilai wajarnya secara andal, maka investasi tersebut dicatat pada biaya perolehan.


PSAK mengatur perlakuan akuntansi atas reklasifikasi antar kategori aset keuangan ini. Ketika entitas memiliki aset keuangan kategori Diukur dengan Nilai Wajar melalui Laporan Laba Rugi, maka entitas tidak diperbolehkan melakukan reklasifikasi ke kategori aset keuangan yang lain. Demikian sebaliknya, aset keuangan kategori lain tidak dapat direklasifikasikan ke aset keuangan Diukur pada Nilai Wajar melalui Laporan Laba Rugi. Untuk investasi Dimiliki hingga Jatuh Tempo dapat direklasifikasi ke kategori Tersedia untuk Dijual, namun pada saat itu pula entitas diharuskan mereklasifikasikan seluruh investasi Dimiliki hingga Jatuh Tempo ke kategori Tersedia untuk Dijual dan sampai 2 tahun ke depan entitas tidak diperkenankan memiliki investasi Dimiliki hingga Jatuh Tempo. Ketentuan ini disebut Tainting Rule. Entitas juga dapat mereklasifikasikan aset keuangan dari kategori Tersedia untuk Dijual ke kategori Dimiliki hingga Jatuh Tempo sepanjang kondisi atau persyaratan sebagai Dimiliki hingga Jatuh Tempo dapat terpenuhi.

Aset keuangan yang biasanya dimiliki oleh BUMN non-lembaga keuangan adalah:
1.       Kas dan Deposito
Deposito berjangka waktu kurang dari atau sampai dengan 3 bulan termasuk kelompok “setara kas,” yaitu investasi yang berjangka waktu sangat pendek dan dapat segera dikonversi menjadi kas dalam jumlah yang telah ditentukan dan tidak mengalami risiko perubahan nilai yang signifikan. Setara kas termasuk ke dalam kategori “Pinjaman yang Diberikan dan Piutang” karena merupakan instrumen non-derivatif, tidak mempunyai harga kuotasi di pasar aktif dan mempunyai pembayaran yang telah ditentukan (pembayaran bunga). Deposito yang berjangka waktu lebih dari 3 bulan juga termasuk dalam kategori “Pinjaman yang Diberikan dan Piutang,” namun disajikan sebagai investasi jangka pendek dalam kelompok aset lancar.

2.       Piutang
Jenis piutang yang biasanya dimiliki oleh BUMN non-lembaga keuangan terutama berasal dari piutang usaha akibat penjualaan produk barang atau jasa, piutang pinjaman antar pihak berelasi, atau dapat juga berupa piutang pinjaman karyawan. Piutang tersebut termasuk ke dalam kategori “Pinjaman yang Diberikan dan Piutang,” karena piutang ini bersifat non-derivatif dan tidak mempunyai harga kuotasi di pasar aktif.

3.       Investasi Saham - Penyertaan langsung
Penyertaan langsung yang dimiliki oleh BUMN non-lembaga keuangan dapat merupakan investasi yang mempunyai pengaruh signifikan atau tidak mempunyai pengaruh signifikan. Pengaruh signifikan dapat dibuktikan misalnya mempunyai perwakilan Direktur di jajaran Direksi atau dengan kepemilikan lebih dari 20%. Sedangkan untuk penyertaan langsung yang tidak mempunyai pengaruh signifikan biasanya ditandai dengan kepemilikan kurang dari 20% dan tidak terdapat bukti lain yang menunjukkan adanya pengauh signifikan.
Investasi saham dengan pengaruh signifikan diatur oleh PSAK No. 15 tentang Investasi pada Entitas Asosiasi dan diukur menggunakan metode ekuitas. Investasi saham yang tidak mempunyai pengaruh signifikan termasuk ke dalam kategori Aset Keuangan “Tersedia untuk Dijual,” menurut PSAK 55, yang diukur pada Nilai Wajar. Investasi penyertaan langsung kadang-kala dilakukan pada entitas yang tidak terdaftar di Bursa saham, sehingga tidak mempunyai harga kuotasi di pasar aktif. Dalam hal tidak tersedia pengukuran nilai wajar yang andal, maka investasi ini akan diukur pada biaya perolehan.

4.       Investasi dalam obligasi atau surat hutang
Investasi dalam instrumen utang seperti Obligasi atau Surat Utang dapat termasuk ke dalam kategori Investasi “Diukur pada nilai wajar melalui Laporan Laba Rugi,” “Dimiliki hingga Jatuh Tempo,” atau dapat juga termasuk kategori “Tersedia untuk Dijual,” tergantung tujuan perolehan investasi dan pemenuhan kriteria pada masing-masing kategori yang telah dijelaskan pada bagian awal tulisan ini. Jika investasi ini diperoleh untuk diperdagangkan atau diukur dengan nilai wajar, maka dapat dikategorikan kedalam investasi “Diukur pada nilai wajar melalui laporan laba rugi”. Jika manajemen bertujuan memegang instrumen ini hingga jatuh tempo dan entitas mampu mewujudkannya, maka dapat dikategorikan sebagai Investasi “Dimiliki hingga Jatuh Tempo.” Sedangkan jika tujuannya tidak ingin dipegang sampai jatuh tempo dan tidak juga untuk diperdagangkan, maka dapat diklasifikasikan sebagai Investasi “Tersedia untuk Dijual.” Klasifikasi harus ditentukan di awal perolehan, sesuai tujuan manajemen, agar selanjutnya dapat ditentukan perlakuan akuntansi masing-masing mengenai pengakuan, pengukuran dan penyajian yang diatur oleh PSAK.

(artikel ini telah dipublikasikan pada Majalah BUMN Track edisi bulan Desember 2011)

Akuntansi untuk Properti Investasi


LEBIH JAUH MENGENAL STANDAR AKUNTANSI UNTUK PROPERTI INVESTASI
Aria Farahmita
Staf Pengajar Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia dan Instruktur Ikatan Akuntan Indonesia (IAI)

Properti Investasi menurut pengertian di PSAK No. 13 (revisi 2008) tentang Properti Investasi adalah properti (tanah atau bangunan atau bagian dari bangunan atau keduanya) yang dimiliki atau dikuasai untuk menghasilkan rental atau untuk kenaikan nilai atau kedua-duanya. Properti ini tidak dimaksudkan untuk digunakan sendiri oleh entitas ataupun untuk dijual dalam kegiatan usaha sehari-hari. Properti yang digunakan untuk produksi atau tujuan administratif, seperti ruang kantor merupakan aset tetap, sedangkan properti yang dijual dalam kegiatan usaha sehari-hari merupakan persediaan.
Contoh properti investasi adalah tanah yang dimiliki untuk tujuan jangka panjang memperoleh kenaikan nilai dan bukan untuk tujuan jangka pendek dalam kegiatan sehari-hari, bangunan yang dimiliki entitas dan disewakan kepada pihak lain (sewa operasi), bangunan yang belum terpakai tetapi tersedia untuk disewakan kepada pihak lain.
Sering terjadi entitas menyewakan propertinya kepada perusahaan induk atau anak perusahaan lainnya, dalam hal ini properti tidak termasuk ke dalam properti investasi pada Laporan Keuangan Konsolidasian karena properti tersebut dari sudut pandang grup merupakan properti yang digunakan sendiri.
Pada saat perolehan, properti investasi, sama dengan pengakuan aset pada umumnya, diakui pada biaya perolehan. Biaya perolehan dari properti investasi yang dibeli meliputi harga pembelian dan setiap pengeluaran yang dapat diatribusikan secara langsung (biaya transaksi), misalnya biaya jasa hukum, pajak penjualan, dan biaya transaksi lainnya.
Selanjutnya, entitas mengukur properti investasi menggunakan dua pilihan, yaitu 1) model biaya, atau 2) model nilai wajar. Pilihan kebijakan akuntansi ini harus diterapkan sama untuk seluruh properti investasi yang dimiliki entitas. Namun, untuk properti investasi yang menjadi agunan liabilitas yang menghasilkan imbalan yang terkait langsung dengan nilai wajar dari properti investasi tersebut, entitas dapat menerapkan kebijakan akuntansi (model biaya atau model nilai wajar) yang berbeda, atau dapat juga sama dengan properti investasi lainnya.
Model biaya yang dimaksud disini adalah model biaya yang sama dengan yang diatur dalam standar akuntansi untuk Aset Tetap (PSAK No. 16 tentang Aset Tetap). Penerapan model biaya mensyaratkan entitas menyajikan properti investasi pada biaya perolehan dikurangi akumulasi depresiasi. Selain itu, penerapan model biaya mengimplikasikan perlunya telaah kemungkinan adanya penurunan nilai    (sebagaimana diatur di PSAK No. 48 tentang Penurunan Nilai).
Jika entitas memilih pengukuran menggunakan nilai wajar, maka untuk setiap tanggal neraca, entitas harus menghitung nilai wajar dari properti investasi. Keuntungan atau kerugian dari perubahan nilai wajar atas properti investasi diakui dalam laba rugi periode berjalan.
Bagaimana mengukur nilai wajar properti investasi? PSAK No. 13 menjelaskan, yang dimaksud dengan nilai wajar properti investasi adalah harga yang mana properti dipertukarkan antara pihak-pihak yang memiliki pengetahuan memadai dan berkeinginan dalam suatu transaksi yang wajar (arm’s length transaction). Nilai wajar yang ditentukan adalah nilai wajar tanpa dikurangi dengan biaya transaksi yang mungkin timbul dari penjualan atau pelepasan properti investasi.
Acuan terbaik nilai wajar yang digunakan adalah berdasarkan harga kini dalam pasar aktif untuk properti serupa dalam lokasi dan kondisi yang serupa. Namun harga ini belum tentu tersedia karena pasar aktif properti belum tentu tersedia. Dalam kondisi tidak tersedianya harga di pasar aktif, maka entitas dapat menentukan nilai wajar dengan mempertimbangkan informasi dari berbagai sumber, diantaranya:
-          harga kini dalam pasar aktif untuk properti serupa di lokasi yang berbeda, kemudian disesuaikan untuk perbedaan lokasi tersebut
-          harga terakhir properti serupa dalam pasar yang kurang aktif, dengan penyesuaian untuk mencerminkan adanya perubahan dalam kondisi ekonomi sejak tanggal transaksi terjadi pada harga tersebut
-          nilai kini estimasi arus kas masa depan (metode discounted cash flow) menggunakan tingkat diskonto yang mencerminkan risiko atas ketidak pastian dalam jumlah dan waktu arus kas
Properti investasi yang diukur menggunakan nilai wajar tidak perlu disusutkan, karena entitas selalu menyajikan nilai wajarnya setiap tanggal akhir periode pelaporan keuangan, sehingga penyusutan yang dilakukan tidak akan memberikan pengaruh apa pun terhadap nilai yang akan disajikan di laporan keuangan.
Dalam memilih kebijakan akuntansi apakah ingin menggunakan model biaya atau model nilai wajar, beberapa pertimbangan yang perlu diperhatikan diantaranya ketersediaan harga di pasar aktif. Jika tidak tersedia, apakah estimasi nilai wajar dapat ditentukan dengan andal? PSAK No. 13 mengatur jika nilai wajar yang andal tidak tersedia, maka entitas harus menggunakan model biaya dan nilai residu yang ditetapkan dalam menghitung depresiasi adalah nol. Apakah entitas dapat menggunakan bantuan tenaga ahli jasa penilai dalam menentukan nilai wajar? Tentu saja bisa, namun entitas hendaknya juga memperhitungkan biaya yang akan dikeluarkan dalam memperoleh informasi nilai wajar dari tenaga ahli tersebut.
Perlu diperhatikan walaupun entitas memilih model biaya untuk mengukur properti investasinya, entitas diwajibkan tetap mengungkapkan nilai wajar properti investasi dalam catatan atas laporan keuangan. Termasuk pengungkapan jika entitas tidak dapat menentukan nilai wajarnya secara andal, entitas juga harus mengungkapkan rentang estimasi dimana nilai wajar kemungkinan besar berada.
Sedikit kembali ke ruang lingkup properti investasi, terkadang beberapa entitas memiliki properti (misal tanah) yang menganggur, yang belum ditentukan penggunaannya. Karena sifatnya yang menganggur dan belum ditentukan penggunaannya, banyak entitas terkadang selama ini memasukkan aset tersebut di kelompok aset lain.Tanah yang semacam ini menurut PSAK 13 harus diakui sebagai tanah yang dimiliki dalam rangka kenaikan nilai. Sehingga tanah ini termasuk ke dalam properti investasi. Walaupun entitas dapat memilih untuk mengukur menggunakan model biaya, namun jangan lupa bahwa entitas juga harus mengungkapkan nilai wajar dari aset ini di catatan atas laporan keuangan.
Saat ini Dewan Standar SAK sudah menerbitan Eksposur Draft Revisi PSAK No. 13 (tahun 2011) yang rencananya akan berlaku efektif secara prospektif pada 1 Januari 2012. Revisi yang dilakukan salah satunya mengenai konstruksi/pembangunan aset yang nantinya akan dikelompokkan sebagai properti investasi. Misal, pembangunan gedung yang sedang berjalan dan setelah pembangunan selesai, gedung itu akan disewakan dan termasuk ke dalam properti investasi. Bagaimana pembangunan aset tersebut diklasifikasikan dalam laporan keuangan? Sebelum adanya eksposur draft ini, aset semacam itu dikelompokkan kedalam aset tetap dan diukur menggunakan model biaya. Dengan adanya revisi ini, aset tersebut langsung dikelompokkan sebagai properti investasi sehingga tersedia alternatif pengukuran menggunakan model biaya atau nilai wajar. Perlu diingat bahwa menghitung nilai wajar aset yang sedang dalam tahap pembangunan mungkin sulit, dalam hal ini draft revisi PSAK 13 tersebut mengatur tentang pengukuran nilai wajar untuk properti investasi dalam tahap pembangunan.

Sumber:
- PSAK No. 13 (Revisi 2007) tentang Properti Investasi
- Eksposur Draft PSAK No. 13 (Revisi 2011) tentang Properti Investasi
- IAS 40 (2008): Investment Property

(artikel ini telah dipublikasikan pada Majalah BUMN Track edisi Oktober 2011)