Jumat, 20 Januari 2012

Paradigma Riset Akuntansi... Main Stream or Not, is it matter?

Apakah jalur riset kita sudah banyak memberikan kontribusi untuk masalah riil yang dihadapi masyarakat?

Nice article to read "Paradigms in accounting research: A view from North America"
by Kenneth A. Merchant
please click this to read further, below is the abstract:

"The highest ranked U.S. business schools value, almost exclusively, publications in academic journals deemed to be “A-level” and high quantities of SSCI citations. But the so-called A-level journals, which typically are said to be five in number or less, publish predominantly empirical tests of economics-based models using large, archival data sets. Motivating researchers to publish papers that are situated only in these journals and that gather high quantities of SSCI citations, which are more likely if the publications are in mainstream topic areas, reduces topic, discipline, and research method diversity. The loss of diversity is costly to the schools themselves, the academy and, indeed, society. The narrow focus of the U.S. business schools provides a great opportunity for business schools in Europe and other parts of the world to take a leadership position in many important research areas. But that opportunity will be lost if those schools try to emulate the U.S. business school model."

KLASIFIKASI ASET KEUANGAN DI BUMN NON-LEMBAGA-KEUANGAN: TINJAUAN PENDAHULUAN PENERAPAN PSAK 50 dan 55
Aria Farahmita, Staf pengajar FEUI dan Insruktur IAI

Ketika PSAK 50 dan 55 tentang Instrumen Keuangan akan diberlakukan pada 1 Januari 2009, banyak kalangan usaha, terutama lembaga keuangan, merasakan sulitnya menerapkan PSAK ini karena kompleksnya pengukuran dan tingginya persyaratan akan pengungkapan minimum pada Catatan atas Laporan Keuangan. PSAK 50 dan 55 merupakan serangkaian program konvergensi IFRS, sehingga sebagian besar sesuai dengan Standar Akuntansi Internasional, yaitu IAS No. 32 dan IAS No. 39. PSAK 50 dan 55 berdampak sangat besar bagi entitas yang bergerak di bidang jasa keuangan dan perbankan, karena sebagian aset dan liabilitas yang dimilikinya berupa instrumen keuangan. Walaupun sempat ditunda pemberlakukannya, akhirnya pada 1 januari 2010, PSAK ini dinyatakan berlaku efektif sejak 1 Januari 2010. Bagaimana hal nya dengan BUMN non-lembaga keuangan, apakah PSAK 50 dan 55 tersebut juga mempunyai dampak yang besar terhadap Laporan Keuangannya? Untuk dapat mengetahui dampak PSAK tersebut, kita perlu membahas instrumen keuangan apa saja yang mungkin dimiliki oleh BUMN non-lembaga keuangan agar dapat diprediksi dampaknya. Artikel ini hanya membahas mengenai klasifikasi aset keuangan dan tidak membahas jenis instrumen keuangan lain yang juga diatur dalam PSAK 50 dan 55 seperti liabilitas keuangan dan instrumen ekuitas.

Menurut PSAK 50 dan 55, klasifikasi aset keuangan bergantung pada tujuan perolehan atau akuisisi aset keuangan tersebut dan ditentukan pada saat pengakuan awal. Klasifikasi ini lah yang akan menentukan perlakuan akuntansi untuk aset keuangan tersebut. Terdapat beberapa kategori aset keuangan menurut PSAK 50 dan 55, yaitu sebagai berikut:
1.       Kas
Kas terdiri atas saldo kas dan rekening giro. Kas disajikan pada nilai nominalnya.
2.       Aset Keuangan Diukur pada Nilai Wajar melalui Laporan Laba Rugi
Aset keuangan yang termasuk ke dalam kategori ini adalah aset keuangan yang memenuhi salah satu kondisi berikut ini:
-          Diklasifikasikan dalam kelompok diperdagangkan, yaitu jika diperoleh atau dimiliki terutama untuk tujuan dijual atau dibeli kembali dalam waktu dekat, merupakan bagian dari portofolio instrumen keuangan tertentu yang dikelola bersama dan terdapat bukti mengenai pola ambil untung dalam jangka pendek (short term profit taking), atau merupakan derivatif, kecuali instrumen lindung nilai yang ditetapkan dan efektif; atau
-          Pada saat pengakuan awal telah ditetapkan oleh entitas untuk diukur pada nilai wajar melalui laporan laba rugi. Tujuan dimilikinya aset ini mungkin saja bukan untuk diperdagangkan, namun entitas sengaja mengelompokkannya pada kategori ini agar pengukurannya menggunakan nilai wajar.
Aset keuangan ini diukur pertama kali dan selanjutnya menggunakan nilai wajar. Biaya transaksi perolehan aset dibebankan ke Laporan Laba Rugi pada saat terjadinya. Selisih penilaian nilai wajar diakui di Laporan Laba Rugi.
3.       Investasi Dimiliki hingga Jatuh Tempo
Syarat suatu investasi dapat dikelompokkan sebagai Dimiliki hingga Jatuh Tempo, yaitu:
-          Berupa aset keuangan non-derivatif dengan pembayaran tetap atau telah ditentukan dan jatuh temponya telah ditetapkan; dan
-          Terdapat intensi positif dan kemampuan untuk memiliki aset keuangan tersebut hingga jatuh tempo, yang dinilai pada pertama kali diakuinya aset dan juga dinilai pada setiap tanggal akhir periode.
Entitas dikatakan tidak memiliki intensi positif, jika belum menetapkan periode kepemilikan investasi, atau bermaksud menjual sewaktu-waktu, atau penerbit memiliki hak untuk menyelesaikan pada suatu jumlah yang secara signifikan lebih rendah dari biaya perolehan diamortisasi.
Entitas dikatakan tidak memiliki kemampuan untuk memiliki investasi hingga jatuh tempo jika entitas tidak memiliki sumber daya keuangan yang tersedia untuk melanjutkan pendanaan investasi tersebut hingga jatuh tempo, atau entitas merupakan subyek dari peraturan hukum yang berlaku atau batasan- batasan lain yang dapat mengganggu intensinya untuk memiliki aset keuangan hingga jatuh tempo.

Investasi Dimiliki hingga Jatuh Tempo diakui pertama kali pada nilai wajarnya ditambah biaya transaksi. Pengukuran selanjutnya menggunakan biaya perolehan diamortisasi. Amortisasi bunga menggunakan suku bunga efektif.


4.       Pinjaman yang Diberikan dan Piutang
Yang diklasifikasikan sebagai Pinjaman yang Diberikan dan Piutang adalah Instrumen non-derivatif dengan pembayaran tetap atau telah ditentukan dan tidak mempunyai kuotasi di pasar aktif. Pada saat pengakuan awal, pinjaman yang diberikan dan piutang diakui pada nilai wajarnya ditambah biaya transaksi dan selanjutnya diukur pada biaya perolehan diamortisasi dengan menggunakan metode suku bunga efektif.

5.       Aset keuangan Tersedia untuk Dijual
Aset yang diklasifikasikan sebagai Tersedia untuk Dijual adalah:
Aset non-derivatif yang ditetapkan sebagai Tersedia untuk Dijual; atau aset non-derivatif yang tidak diklasifikasikan sebagai kategori Diukur pada Nilai Wajar melalui Laporan Laba Rugi, tidak dimiliki hingga Jatuh Tempo, atau bukan merupakan Investasi dalam bentuk instrumen ekuitas yang dicatat pada biaya perolehan.

Aset keuangan Tersedia untuk Dijual pada saat awal diakui pada nilai wajarnya ditambah dengan biaya transaksi. Selanjutnya aset ini diukur pada nilai wajar, dengan selisih penyesuaian nilai wajar diakui sebagai pendapatan komprehensif lain.

Aset keuangan berupa investasi pada instrumen saham kadangkala berbentuk saham yang mempunyai tidak mempunyai kuotasi harga pasar aktif. Ketika investasi ini dikategorikan sebagai Tersedia untuk Dijual, maka entitas harus mengukur pada Nilai Wajar. Untuk itu, pada investasi saham yang tidak tersedia kuotasi harga di pasar aktif, maka nilai wajarnya perlu diestimasi secara andal. Jika entitas tidak dapat mengukur nilai wajarnya secara andal, maka investasi tersebut dicatat pada biaya perolehan.


PSAK mengatur perlakuan akuntansi atas reklasifikasi antar kategori aset keuangan ini. Ketika entitas memiliki aset keuangan kategori Diukur dengan Nilai Wajar melalui Laporan Laba Rugi, maka entitas tidak diperbolehkan melakukan reklasifikasi ke kategori aset keuangan yang lain. Demikian sebaliknya, aset keuangan kategori lain tidak dapat direklasifikasikan ke aset keuangan Diukur pada Nilai Wajar melalui Laporan Laba Rugi. Untuk investasi Dimiliki hingga Jatuh Tempo dapat direklasifikasi ke kategori Tersedia untuk Dijual, namun pada saat itu pula entitas diharuskan mereklasifikasikan seluruh investasi Dimiliki hingga Jatuh Tempo ke kategori Tersedia untuk Dijual dan sampai 2 tahun ke depan entitas tidak diperkenankan memiliki investasi Dimiliki hingga Jatuh Tempo. Ketentuan ini disebut Tainting Rule. Entitas juga dapat mereklasifikasikan aset keuangan dari kategori Tersedia untuk Dijual ke kategori Dimiliki hingga Jatuh Tempo sepanjang kondisi atau persyaratan sebagai Dimiliki hingga Jatuh Tempo dapat terpenuhi.

Aset keuangan yang biasanya dimiliki oleh BUMN non-lembaga keuangan adalah:
1.       Kas dan Deposito
Deposito berjangka waktu kurang dari atau sampai dengan 3 bulan termasuk kelompok “setara kas,” yaitu investasi yang berjangka waktu sangat pendek dan dapat segera dikonversi menjadi kas dalam jumlah yang telah ditentukan dan tidak mengalami risiko perubahan nilai yang signifikan. Setara kas termasuk ke dalam kategori “Pinjaman yang Diberikan dan Piutang” karena merupakan instrumen non-derivatif, tidak mempunyai harga kuotasi di pasar aktif dan mempunyai pembayaran yang telah ditentukan (pembayaran bunga). Deposito yang berjangka waktu lebih dari 3 bulan juga termasuk dalam kategori “Pinjaman yang Diberikan dan Piutang,” namun disajikan sebagai investasi jangka pendek dalam kelompok aset lancar.

2.       Piutang
Jenis piutang yang biasanya dimiliki oleh BUMN non-lembaga keuangan terutama berasal dari piutang usaha akibat penjualaan produk barang atau jasa, piutang pinjaman antar pihak berelasi, atau dapat juga berupa piutang pinjaman karyawan. Piutang tersebut termasuk ke dalam kategori “Pinjaman yang Diberikan dan Piutang,” karena piutang ini bersifat non-derivatif dan tidak mempunyai harga kuotasi di pasar aktif.

3.       Investasi Saham - Penyertaan langsung
Penyertaan langsung yang dimiliki oleh BUMN non-lembaga keuangan dapat merupakan investasi yang mempunyai pengaruh signifikan atau tidak mempunyai pengaruh signifikan. Pengaruh signifikan dapat dibuktikan misalnya mempunyai perwakilan Direktur di jajaran Direksi atau dengan kepemilikan lebih dari 20%. Sedangkan untuk penyertaan langsung yang tidak mempunyai pengaruh signifikan biasanya ditandai dengan kepemilikan kurang dari 20% dan tidak terdapat bukti lain yang menunjukkan adanya pengauh signifikan.
Investasi saham dengan pengaruh signifikan diatur oleh PSAK No. 15 tentang Investasi pada Entitas Asosiasi dan diukur menggunakan metode ekuitas. Investasi saham yang tidak mempunyai pengaruh signifikan termasuk ke dalam kategori Aset Keuangan “Tersedia untuk Dijual,” menurut PSAK 55, yang diukur pada Nilai Wajar. Investasi penyertaan langsung kadang-kala dilakukan pada entitas yang tidak terdaftar di Bursa saham, sehingga tidak mempunyai harga kuotasi di pasar aktif. Dalam hal tidak tersedia pengukuran nilai wajar yang andal, maka investasi ini akan diukur pada biaya perolehan.

4.       Investasi dalam obligasi atau surat hutang
Investasi dalam instrumen utang seperti Obligasi atau Surat Utang dapat termasuk ke dalam kategori Investasi “Diukur pada nilai wajar melalui Laporan Laba Rugi,” “Dimiliki hingga Jatuh Tempo,” atau dapat juga termasuk kategori “Tersedia untuk Dijual,” tergantung tujuan perolehan investasi dan pemenuhan kriteria pada masing-masing kategori yang telah dijelaskan pada bagian awal tulisan ini. Jika investasi ini diperoleh untuk diperdagangkan atau diukur dengan nilai wajar, maka dapat dikategorikan kedalam investasi “Diukur pada nilai wajar melalui laporan laba rugi”. Jika manajemen bertujuan memegang instrumen ini hingga jatuh tempo dan entitas mampu mewujudkannya, maka dapat dikategorikan sebagai Investasi “Dimiliki hingga Jatuh Tempo.” Sedangkan jika tujuannya tidak ingin dipegang sampai jatuh tempo dan tidak juga untuk diperdagangkan, maka dapat diklasifikasikan sebagai Investasi “Tersedia untuk Dijual.” Klasifikasi harus ditentukan di awal perolehan, sesuai tujuan manajemen, agar selanjutnya dapat ditentukan perlakuan akuntansi masing-masing mengenai pengakuan, pengukuran dan penyajian yang diatur oleh PSAK.

(artikel ini telah dipublikasikan pada Majalah BUMN Track edisi bulan Desember 2011)

Akuntansi untuk Properti Investasi


LEBIH JAUH MENGENAL STANDAR AKUNTANSI UNTUK PROPERTI INVESTASI
Aria Farahmita
Staf Pengajar Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia dan Instruktur Ikatan Akuntan Indonesia (IAI)

Properti Investasi menurut pengertian di PSAK No. 13 (revisi 2008) tentang Properti Investasi adalah properti (tanah atau bangunan atau bagian dari bangunan atau keduanya) yang dimiliki atau dikuasai untuk menghasilkan rental atau untuk kenaikan nilai atau kedua-duanya. Properti ini tidak dimaksudkan untuk digunakan sendiri oleh entitas ataupun untuk dijual dalam kegiatan usaha sehari-hari. Properti yang digunakan untuk produksi atau tujuan administratif, seperti ruang kantor merupakan aset tetap, sedangkan properti yang dijual dalam kegiatan usaha sehari-hari merupakan persediaan.
Contoh properti investasi adalah tanah yang dimiliki untuk tujuan jangka panjang memperoleh kenaikan nilai dan bukan untuk tujuan jangka pendek dalam kegiatan sehari-hari, bangunan yang dimiliki entitas dan disewakan kepada pihak lain (sewa operasi), bangunan yang belum terpakai tetapi tersedia untuk disewakan kepada pihak lain.
Sering terjadi entitas menyewakan propertinya kepada perusahaan induk atau anak perusahaan lainnya, dalam hal ini properti tidak termasuk ke dalam properti investasi pada Laporan Keuangan Konsolidasian karena properti tersebut dari sudut pandang grup merupakan properti yang digunakan sendiri.
Pada saat perolehan, properti investasi, sama dengan pengakuan aset pada umumnya, diakui pada biaya perolehan. Biaya perolehan dari properti investasi yang dibeli meliputi harga pembelian dan setiap pengeluaran yang dapat diatribusikan secara langsung (biaya transaksi), misalnya biaya jasa hukum, pajak penjualan, dan biaya transaksi lainnya.
Selanjutnya, entitas mengukur properti investasi menggunakan dua pilihan, yaitu 1) model biaya, atau 2) model nilai wajar. Pilihan kebijakan akuntansi ini harus diterapkan sama untuk seluruh properti investasi yang dimiliki entitas. Namun, untuk properti investasi yang menjadi agunan liabilitas yang menghasilkan imbalan yang terkait langsung dengan nilai wajar dari properti investasi tersebut, entitas dapat menerapkan kebijakan akuntansi (model biaya atau model nilai wajar) yang berbeda, atau dapat juga sama dengan properti investasi lainnya.
Model biaya yang dimaksud disini adalah model biaya yang sama dengan yang diatur dalam standar akuntansi untuk Aset Tetap (PSAK No. 16 tentang Aset Tetap). Penerapan model biaya mensyaratkan entitas menyajikan properti investasi pada biaya perolehan dikurangi akumulasi depresiasi. Selain itu, penerapan model biaya mengimplikasikan perlunya telaah kemungkinan adanya penurunan nilai    (sebagaimana diatur di PSAK No. 48 tentang Penurunan Nilai).
Jika entitas memilih pengukuran menggunakan nilai wajar, maka untuk setiap tanggal neraca, entitas harus menghitung nilai wajar dari properti investasi. Keuntungan atau kerugian dari perubahan nilai wajar atas properti investasi diakui dalam laba rugi periode berjalan.
Bagaimana mengukur nilai wajar properti investasi? PSAK No. 13 menjelaskan, yang dimaksud dengan nilai wajar properti investasi adalah harga yang mana properti dipertukarkan antara pihak-pihak yang memiliki pengetahuan memadai dan berkeinginan dalam suatu transaksi yang wajar (arm’s length transaction). Nilai wajar yang ditentukan adalah nilai wajar tanpa dikurangi dengan biaya transaksi yang mungkin timbul dari penjualan atau pelepasan properti investasi.
Acuan terbaik nilai wajar yang digunakan adalah berdasarkan harga kini dalam pasar aktif untuk properti serupa dalam lokasi dan kondisi yang serupa. Namun harga ini belum tentu tersedia karena pasar aktif properti belum tentu tersedia. Dalam kondisi tidak tersedianya harga di pasar aktif, maka entitas dapat menentukan nilai wajar dengan mempertimbangkan informasi dari berbagai sumber, diantaranya:
-          harga kini dalam pasar aktif untuk properti serupa di lokasi yang berbeda, kemudian disesuaikan untuk perbedaan lokasi tersebut
-          harga terakhir properti serupa dalam pasar yang kurang aktif, dengan penyesuaian untuk mencerminkan adanya perubahan dalam kondisi ekonomi sejak tanggal transaksi terjadi pada harga tersebut
-          nilai kini estimasi arus kas masa depan (metode discounted cash flow) menggunakan tingkat diskonto yang mencerminkan risiko atas ketidak pastian dalam jumlah dan waktu arus kas
Properti investasi yang diukur menggunakan nilai wajar tidak perlu disusutkan, karena entitas selalu menyajikan nilai wajarnya setiap tanggal akhir periode pelaporan keuangan, sehingga penyusutan yang dilakukan tidak akan memberikan pengaruh apa pun terhadap nilai yang akan disajikan di laporan keuangan.
Dalam memilih kebijakan akuntansi apakah ingin menggunakan model biaya atau model nilai wajar, beberapa pertimbangan yang perlu diperhatikan diantaranya ketersediaan harga di pasar aktif. Jika tidak tersedia, apakah estimasi nilai wajar dapat ditentukan dengan andal? PSAK No. 13 mengatur jika nilai wajar yang andal tidak tersedia, maka entitas harus menggunakan model biaya dan nilai residu yang ditetapkan dalam menghitung depresiasi adalah nol. Apakah entitas dapat menggunakan bantuan tenaga ahli jasa penilai dalam menentukan nilai wajar? Tentu saja bisa, namun entitas hendaknya juga memperhitungkan biaya yang akan dikeluarkan dalam memperoleh informasi nilai wajar dari tenaga ahli tersebut.
Perlu diperhatikan walaupun entitas memilih model biaya untuk mengukur properti investasinya, entitas diwajibkan tetap mengungkapkan nilai wajar properti investasi dalam catatan atas laporan keuangan. Termasuk pengungkapan jika entitas tidak dapat menentukan nilai wajarnya secara andal, entitas juga harus mengungkapkan rentang estimasi dimana nilai wajar kemungkinan besar berada.
Sedikit kembali ke ruang lingkup properti investasi, terkadang beberapa entitas memiliki properti (misal tanah) yang menganggur, yang belum ditentukan penggunaannya. Karena sifatnya yang menganggur dan belum ditentukan penggunaannya, banyak entitas terkadang selama ini memasukkan aset tersebut di kelompok aset lain.Tanah yang semacam ini menurut PSAK 13 harus diakui sebagai tanah yang dimiliki dalam rangka kenaikan nilai. Sehingga tanah ini termasuk ke dalam properti investasi. Walaupun entitas dapat memilih untuk mengukur menggunakan model biaya, namun jangan lupa bahwa entitas juga harus mengungkapkan nilai wajar dari aset ini di catatan atas laporan keuangan.
Saat ini Dewan Standar SAK sudah menerbitan Eksposur Draft Revisi PSAK No. 13 (tahun 2011) yang rencananya akan berlaku efektif secara prospektif pada 1 Januari 2012. Revisi yang dilakukan salah satunya mengenai konstruksi/pembangunan aset yang nantinya akan dikelompokkan sebagai properti investasi. Misal, pembangunan gedung yang sedang berjalan dan setelah pembangunan selesai, gedung itu akan disewakan dan termasuk ke dalam properti investasi. Bagaimana pembangunan aset tersebut diklasifikasikan dalam laporan keuangan? Sebelum adanya eksposur draft ini, aset semacam itu dikelompokkan kedalam aset tetap dan diukur menggunakan model biaya. Dengan adanya revisi ini, aset tersebut langsung dikelompokkan sebagai properti investasi sehingga tersedia alternatif pengukuran menggunakan model biaya atau nilai wajar. Perlu diingat bahwa menghitung nilai wajar aset yang sedang dalam tahap pembangunan mungkin sulit, dalam hal ini draft revisi PSAK 13 tersebut mengatur tentang pengukuran nilai wajar untuk properti investasi dalam tahap pembangunan.

Sumber:
- PSAK No. 13 (Revisi 2007) tentang Properti Investasi
- Eksposur Draft PSAK No. 13 (Revisi 2011) tentang Properti Investasi
- IAS 40 (2008): Investment Property

(artikel ini telah dipublikasikan pada Majalah BUMN Track edisi Oktober 2011)

Jumat, 09 September 2011

Perubahan PSAK 1: Penyajian Laporan Keuangan



PSAK 1 (Revisi 2009) tentang Penyajian Laporan Keuangan: Apa Saja yang Berubah dari PSAK 1 (1998)?

Aria Farah Mita

Abstrak

PSAK 1 (revisi 2009) tentang Penyajian Laporan Keuangan telah disahkan DSAK-IAI dan akan berlaku efektif untuk Laporan Keuangan periode yang dimulai 1 Januari 2011. Revisi ini merupakan bagian dari serangkaian program konvergensi IFRS yang dilakukan IAI. Terjadi beberapa perubahan yang cukup signifikan pada PSAK ini. Salah satunya adalah kewajiban entitas menyajikan informasi Pendapatan Komprehensif sebagai bagian dari komponen Laporan Keuangan lengkap, untuk menampung semua informasi perubahan aset bersih yang bukan berasal dari pemilik. Selain itu terdapat beberapa perubahan istilah, peniadaan pos luar biasa dalam Laporan Laba Rugi, serta beberapa tambahan pengaturan klasifikasi dan persyaratan pengungkapan.
Kata kunci: PSAK 1, Laporan Keuangan, Pendapatan Komprehensif Lainnya, Laporan Laba Rugi Komprehensif.

Pendahuluan
Dewan Standar Akuntansi Keuangan Ikatan Akuntan Indonesia (DSAK – IAI) sudah memulai program Konvergensi IFRS sejak tahun 2009. Program konvergensi ini akan dilakukan terus sampai tahun 2012 nanti. Seperti yang kita ketahui, program konvergensi IFRS ini selain bertujuan mewujudkan komitmen Indonesia sebagai anggota IFAC dan anggota negara G20, juga untuk meningkatkan kualitas Standar Akuntansi Keuangan; meningkatkan kredibilitas dan kegunaan Laporan Keuangan; dan menyelaraskan dengan pengaturan yang berlaku internasional.
Pada tanggal 20 Agustus 2009, DSAK IAI sudah mengeluarkan exposure draft (ED) PSAK 1 (Revisi 2009) tentang Penyajian Laporan Keuangan. Pada tanggal 23 Desember 2009 lalu, bersama dengan 9 PSAK lain, 5 ISAK, dan pencabutan 4 PSAK, PSAK 1 (Revisi 2009) telah disahkan dan berlaku efektif untuk periode Laporan Keuangan yang dimulai tanggal 1 Januari 2011. Penerapan lebih awal dianjurkan dan harus diungkapkan dalam Laporan Keuangan.
PSAK 1 (Revisi 2009) ini mengadopsi IAS 1 (2007) tentang Presentation of Financial Statements dan diterbitkan untuk menggantikan PSAK 1 (1998). Cukup banyak perubahan yang kita perlu cermati dari PSAK ini. Dalam kesempatan ini penulis ingin memaparkan beberapa perubahan penting pada PSAK 1 (2009) tentang Penyajian Laporan Keuangan.

Beberapa Pokok Ketentuan PSAK 1 (2009)
PSAK 1 (2009) tidak mengubah perlakuan tentang pengakuan dan pengukuran, namun mengatur tentang penyajian Perubahan Modal Pemilik dan penyajian Pendapatan Komprehensif. PSAK ini menghendaki agar seluruh perubahan modal entitas yang terkait dengan pemilik disajikan pada Laporan Perubahan Ekuitas. Sedangkan semua perubahan modal yang tidak berkaitan dengan pemilik (pendapatan komprehensif lain) disajikan dalam suatu Laporan Pendapatan Komprehensif. Contoh Pendapatan Komprehensif Lain misalnya selisih kurs karena penjabaran laporan keuangan dalam mata uang asing, keuntungan revaluasi aset tetap, dan unrealized gain/loss dari aset tersedia untuk dijual. Standar memberi pilihan dalam menyusun Laporan Pendapatan Komprehensif, yaitu dapat dibuat menjadi satu laporan “Laba Rugi Komprehensif” yang disajikan bersama dengan informasi laba rugi periode berjalan; atau dalam dua laporan (Laporan terpisah antara Laporan Laba Rugi dan Laporan Pendapatan Komprehensif).
Jika kita melihat alasan dibalik terbitnya IAS 1 (acuan PSAK 1), yaitu adanya keinginan untuk mengagregasikan informasi berdasarkan karakteristiknya. Informasi laporan keuangan diharapkan akan lebih berguna jika perubahan modal entitas (aset bersih) yang berasal dari transaksi pemilik (dalam kapasitasnya sebagai pemilik) dipisahkan dengan perubahan lainnya. Dengan demikian standar mensyaratkan bahwa seluruh perubahan modal yang berasal dari transaksi pemilik disajikan dalam suatu laporan yang terpisah (Laporan Perubahan Ekuitas). Karena itu kemudian muncullah kewajiban menyusun Laporan Pendapatan Komprehensif untuk menampung semua perubahan ekuitas yang bukan berasal dari transaksi pemilik.
Pokok penting lain dari PSAK 1 adalah ketika dilakukan penyajian kembali Laporan Keuangan akibat penerapan kebijakan akuntansi secara retrospektif maupun karena adanya reklasifikasi pos laporan keuangan. Entitas wajib menyajikan Laporan Posisi Keuangan pada awal periode komparatif sebagai satu set Laporan Keuangan Lengkap.
PSAK 1 juga mensyaratkan entitas untuk mengungkapkan adanya penyesuaian reklasifikasi dan pajak penghasilan yang terkait dengan setiap komponen pendapatan komprehensif lain. Penyesuaian reklasifikasi ini berasal dari jumlah yang sebelumnya diakui sebagai pendapatan komprehensif lain, kemudian pada periode berjalan diakui (direklasifikasi) sebagai laba atau rugi periode berjalan.
Dalam standar ini secara eksplisit dinyatakan bahwa entitas menyajikan informasi jumlah dividen dan dividen per saham pada Laporan Perubahan Ekuitas atau pada Catatan atas Laporan Keuangan. Dengan demikian dividen tidak dapat disajikan pada Laporan Pendapatan Komprehensif. Berdasarkan IAS 1 (2007) yang menjadi acuan PSAK 1, hal ini dimaksudkan untuk memastikan agar perubahan modal pemilik, dalam hal ini distribusi kepada pemilik disajikan secara terpisah dari perubahan modal non-pemilik yang disajikan pada Laporan Pendapatan Komprehensif.
DSAK IAI tidak mengadopsi seluruh bagian pada IAS 1. Beberapa penyesuaian atau perbedaan antara PSAK 1 dengan IAS 1 adalah sebagai berikut:
-          Entitas syariah tidak menggunakan PSAK 1, tetapi menggunakan Standar Akuntansi Syariah (PSAK 101)
-          Penerapan IAS 1 untuk entitas nirlaba dan entitas sektor publik dihilangkan karena entitas nirlaba diatur dalam PSAK 45 dan entitas sektor publik menggunakan Standar Akuntansi Pemerintah
-          Penerapan IAS 1 untuk reksa dana dan koperasi juga dihilangkan karena diatur di PSAK lain (PSAK 49 dan 27)
-          Beberapa penyesuaian pada ilustrasi Laporan Posisi Keuangan
  

Perubahan dari PSAK sebelumnya

Selain mengalami beberapa penyesuaian, PSAK 1 (2009) juga menambahkan beberapa ketentuan yang sebelumnya tidak diatur dalam PSAK 1 (1998) serta menghilangkan beberapa pengaturan.

Beberapa tambahan pengaturan yang sebelumnya tidak diatur pada PSAK 1 (1998), adalah:
-          Terdapat definisi istilah yang digunakan, seperti laporan keuangan untuk tujuan umum, tidak praktis, standar akuntansi keuangan, material, catatan atas laporan keuangan, penghasilan komprehensif lain, pemilik, dan laba atau rugi.
-          Entitas harus membuat pernyataan secara eksplisit tentang kepatuhan terhadap SAK dalam Laporan Keuangan.
-          Pengaturan tentang penyimpangan dari suatu PSAK ketika PSAK bertentangan dengan Kerangka Dasar Penyajian dan Pelaporan Keuangan (KDPPLK) dan ketentuan tentang pengungkapannya.
-          Tambahan pengaturan tentang pos-pos minimal dalam masing-masing Laporan Keuangan.
-          Pengaturan tentang kewajiban pengungkapan secara eksplisit mengenai pertimbangan yang dibuat manajemen dalam penerapan kebijakan akuntansi, sumber estimasi ketidakpastian, dan permodalan.
-          Klasifikasi liabilitas yang mengalami pelanggaran perjanjian utang. Jika terjadi pelanggaran perjanjian utang sehingga kreditur meminta pembayaran dipercepat, maka liabilitas tersebut disajikan sebagai liabilitas jangka pendek.

Pengaturan yang dihilangkan dari PSAK sebelumnya antara lain tidak mengatur mengenai pihak yang bertanggung jawab atas laporan keuangan. Di PSAK1 (1998) diatur bahwa manajemen bertanggung jawab atas Laporan Keuangan. Dihilangkannya ketentuan ini dari PSAK 1 (2009) tetap tidak menghilangkan tanggung jawab manajemen atas Laporan Keuangan, karena di Undang Undang negara kita No. 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas dengan jelas mengatur bahwa manajemen bertanggung jawab penuh atas Laporan Keuangan.

Mengenai panduan bagaimana memilih dan menerapkan kebijakan akuntansi yang tidak diatur dalam PSAK, saat ini tidak termasuk dalam PSAK 1 (2009), namun diatur dalam PSAK 25 (revisi 2009) yang mengadopsi IAS 8.

PSAK 1 (1998) mengatur bahwa entitas sebaiknya mengeluarkan Laporan Keuangan paling lama 4 bulan setelah tanggal neraca. Di PSAK 1 (2009) hal tersebut tidak diatur lagi kapan entitas sebaiknya mengeluarkan Laporan Keuangan. Kewajiban menyampaikan Laporan Keuangan sudah diatur dalam UU tentang Perseroan terbatas, yaitu paling lambat 6 bulan setelah tahun buku berakhir bersama dengan informasi lain dalam suatu Laporan Tahunan. Sementara menurut peraturan Bapepam, untuk perusahaan publik paling lambat 3 bulan sejak tahun buku berakhir.

Perubahan lainnya dalam PSAK 1 (2009) adalah mengenai Pos Luar Biasa. Entitas tidak diperkenankan menyajikan pendapatan dan beban sebagai Pos Luar Biasa dalam Laporan Keuangan. International Accounting Standard Board (IASB) sudah sejak tahun 2002 telah menghilangkan konsep pos luar biasa karena memandang bahwa pos tersebut merupakan risiko bisnis normal yang dihadapi entitas sehingga tidak perlu penyajian secara terpisah di Laporan Keuangan. Alasan lain karena pos luar biasa sering digunakan oleh manajemen untuk melakukan manajemen laba. Unsur Pos luar biasa yang selama ini ada sebenarnya merupakan unsur dari pendapatan atau beban yang mempunyai nature atau frekuensi yang dapat dijelaskan atau diungkapkan dalam Catatan atas Laporan Keuangan.

Beberapa perubahan atau penyesuaian penting pada PSAK 1 (2009) dibandingkan dengan PSAK 1 (1998) adalah sebagai berikut:
-          Istilah
Terdapat beberapa perubahan istilah, yaitu “Kewajiban” menjadi “Liabilitas”, “Neraca” menjadi “Laporan Posisi Keuangan”, “Hak Minoritas” menjadi “Kepentingan non-Pengendali.” Kemudian “Laporan Laba Rugi” menjadi “Laporan Laba Rugi Komprehensif” karena memang substansi isi laporan yang juga mengalami perubahan yang akan dijelaskan lebih lanjut.

-          Komponen Laporan Keuangan
Laporan Keuangan lengkap terdiri atas:
o   Laporan Posisi Keuangan
o   Laporan Laba Rugi Komprehensif
o   Laporan Perubahan Ekuitas
o   Laporan Arus Kas
o   Catatan atas Laporan Keuangan
o   Laporan Posisi Keuangan Awal (dalam hal penyajian kembali atau reklasifikasi)

Komponen laporan keuangan lengkap ini berbeda dengan ketentuan pada PSAK 1 (1998). Perubahan istilah “Neraca” menjadi “Laporan Posisi Keuangan” bertujuan untuk lebih mencerminkan fungsi dari laporan keuangan tersebut, yaitu untuk memberikan informasi mengenai posisi keuangan perusahaan.

Seperti yang telah dibahas di awal tulisan ini bahwa menurut PSAK 1 (2009), entitas diminta untuk menyajikan laporan posisi keuangan pada awal periode komparatif sebagai bagian dari Laporan Keuangan lengkap, ketika dilakukan penyajian kembali laporan keuangan. Hal ini menurut IASB dimaksudkan agar pembaca laporan, baik investor maupun kreditor mendapat informasi yang lebih berguna untuk menganalisis kinerja perusahaan periode berjalan. Dengan demikian entitas wajib menyajikan 3 (tiga) set Laporan Posisi Keuangan dan 2 (dua) set Laporan Keuangan lain sebagai satu Laporan Keuangan lengkap ketika entitas melakukan penyajian kembali akibat adanya penerapan kebijakan akuntansi yang retrospektif atau reklasifikasi pos laporan keuangan.

-          Laporan Laba Rugi Komprehensif
Total Laba Rugi komprehensif terdiri atas komponen “Laba Rugi” dan “Pendapatan Komprehensif Lain”. Laporan Laba Rugi Komprehensif berisikan semua perubahan modal (aset bersih) yang bukan berasal dari transaksi pemilik, dalam hal ini meliputi Laba Rugi periode berjalan dan Pendapatan Komprehensif lainnya. Dalam menyajikan informasi ini, entitas diberikan pilihan untuk menyajikannya dalam satu Laporan Laba Rugi Komprehensif atau dalam dua laporan terpisah. Entitas yang memilih menyajikan dalam bentuk dua laporan, maka menyajikan laporan yang terdiri atas:
o   Laporan yang menunjukkan komponen laba rugi  (Laporan Laba Rugi terpisah); dan
o   Laporan yang dimulai dengan Laba Rugi periode berjalan kemudian menunjukkan komponen pendapatan komprehensif lain (Laporan Pendapatan Komprehensif).

Standar ini juga mensyaratkan entitas untuk mengungkapkan penyesuaian reklasifikasi setiap komponen pendapatan komprehensif lain. Jumlah penyesuaian ini merupakan komponen pendapatan komprehensif lain yang sebelumnya diakui sebagai pendapatan komprehensif lain, kemudian diakui sebagai bagian dari laba atau rugi di periode berjalan. Ini bertujuan agar pembaca laporan keuangan mendapatkan informasi untuk menilai dampak reklasifikasi tersebut terhadap laba atau rugi entitas di periode berjalan.

-          Kepentingan non-Pengendali (non-controlling interest)
Selain terdapat perbedaan istilah, juga terdapat perubahan aturan penyajian. Istilah sebelumnya yaitu “Hak Minoritas” disajikan diantara Liabilitas dan Ekuitas dalam Laporan Posisi Keuangan. Standar saat ini mengatur “Kepentingan non-Pengendali” disajikan sebagai komponen ekuitas. Selanjutnya dalam Laporan Laba Rugi Komprehensif, Laba Neto dialokasikan ke pemilik ekuitas entitas induk dan hak non-pengendali.

-          Klasifikasi Liabilitas yang dibiayai kembali
Liabilitas keuangan yang akan dibiayai kembali yang jatuh tempo dalam 12 bulan setelah periode pelaporan, diklasifikasikan sebagai liabilitas jangka pendek, jika entitas tidak memiliki hak tanpa syarat untuk membiayai kembali pada tanggal akhir periode Laporan Keuangan. Tidak memiliki hak tanpa syarat pada tanggal akhir Laporan Keuangan artinya, jika perjanjian pembiayaan kembali atau penjadualan kembali menjadi jangka panjang tersebut disepakati setelah tanggal neraca atau terdapat technical default, waiver letter yang didapatkan setelah tanggal neraca. Hal ini berbeda dengan PSAK 1 sebelumnya bahwa liabilitas serupa dapat diklasifikasikan sebagai liabilitas jangka panjang, walaupun kesepakatan tersebut baru muncul setelah tanggal akhir periode laporan dan sebelum tanggal laporan keuangan diterbitkan.


Penutup

Cukup banyak perubahan yang patut kita perhatikan dengan disahkannya PSAK 1 (2009) tentang Penyajian Laporan Keuangan. Diantaranya perubahan istilah, perubahan komponen Laporan Keuangan, dan perbedaan persyaratan tentang pengungkapan. Entitas wajib memberlakukannya pada periode laporan keuangan di tahun depan yaitu 1 Januari 2011. Jangan lupa bahwa PSAK 1 (2009) hanya merupakan salah satu PSAK baru yang sudah disahkan oleh DSAK IAI. Masih banyak PSAK lain, baik yang sudah disahkan maupun yang masih dalam tahap penyusunan. Semuanya akan berlaku penuh pada tahun 2012 nanti, ketika DSAK IAI secara mantap menyatakan kita telah melakukan konvergensi IFRS. Oleh karena itu bersiaplah para Akuntan Publik, Akuntan Manajemen, Akuntan Akademisi, Regulator, dan Asosiasi Industri untuk menyongsong konvergensi ini.

REFERENSI:

Dewan Standar Akuntansi Keuangan - Ikatan Akuntan Indonesia, (1998). “PSAK 1 (1998) tentang Penyajian Laporan Keuangan,” Ikatan Akuntan Indonesia, Jakarta.

Dewan Standar Akuntansi Keuangan - Ikatan Akuntan Indonesia, (2009). “PSAK 1 (revisi 2009) tentang Penyajian Laporan Keuangan,” Ikatan Akuntan Indonesia, Jakarta.

Epstein, Barry J dan Jermakowicz, Eva K., (2008). “IFRS 2008: Interpretation and Application of International Financial Reporting Standards,” John Wiley & Sons, New Jersey.

International Accounting Standard Board, (2007). “IAS 1 Presentation of Financial Statements,” IASC Foundation.

Undang Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas

www.iaiglobal.or.id (4 Februari 2010)


 (telah diterbitkan di EBAR 2010)


Kamis, 08 September 2011

Aset Tidak Lancar yang Dimiliki untuk Dijual (PSAK No. 58 - Revisi 2009): Klasifikasi Aset baru di Laporan Posisi Keuangan


KLASIFIKASI BARU DI LAPORAN POSISI KEUANGAN: ASET TIDAK LANCAR YANG DIMILIKI UNTUK DIJUAL (PSAK No. 58 - Revisi 2009)
Aria Farah Mita

Abstrak
PSAK No. 58 Revisi 2009 tentang Aset Tidak Lancar yang Dimiliki untuk Dijual merupakan serangkaian revisi PSAK dalam program konvergensi ke standar akuntansi internasional (IFRS). PSAK ini mensyaratkan ketika entitas memiliki aset tidak lancar yang ingin dijual dalam waktu satu tahun mendatang, maka aset tersebut harus disajikan sebagai kelompok terpisah di Laporan Posisi Keuangan sebagai aset tidak lancar dimiliki untuk dijual. Aset ini disajikan dalam kelompok Aset Lancar dan harus diukur pada nilai yang lebih rendah antara nilai tercatat dengan nilai wajar neto. PSAK ini juga mengatur perlakuan akuntansi jika entitas selanjutnya merubah rencana penjualan aset tersebut.
Pendahuluan
Tercapainya konvergensi standar akuntansi di seluruh dunia merupakan tujuan utama International Accounting Standard Board (IASB). Saat ini, standar akuntansi yang paling banyak dijadikan referensi banyak negara di dunia adalah Standar Akuntansi Internasional atau International Financial Reporting Standard (IFRS) yang disusun oleh IASB dan Standar Akuntansi Amerika Serikat (US GAAP) yang disusun oleh Financial Accounting Standard Board (FASB) di Amerika Serikat. Dua standar Akuntansi ini memang cukup berbeda karena IFRS menganut principle based, sementara US GAAP menganut rule based. Namun demi tercapainya konvergensi di tingkat Internasional, IASB dan FASB berkomitmen untuk mengurangi perbedaan antara IFRS dan US GAAP. Untuk itu IASB dan FASB berinisiatif mengadakan beberapa joint project jangka pendek yang berfokus untuk menghasilkan standar yang lebih konvergen antara IFRS dan US GAAP.
PSAK No. 58 merupakan adopsi dari IFRS 5 tentang Non-current Assets Held for Sale and Discontinued Operations. IFRS 5 adalah standar pertama yang dihasilkan dari joint project antara IASB dan FASB. IFRS 5 ini adalah hasil review Standar FASB SFAS No. 144 Accounting for the Impairment or Disposal of Long-Lived Assets yang diterbitkan tahun 2001.
Selain karena dihasilkan dari joint project pertama antara IASB dan FASB, PSAK ini cukup menarik untuk dicermati karena mengatur klasifikasi aset yang belum pernah ada sebelumnya di IFRS maupun PSAK. PSAK No. 58 mensyaratkan suatu aset yang akan dijual dan memenuhi beberapa syarat tertentu diukur pada nilai yang lebih rendah antara nilai tercatat dan nilai wajar neto (nilai wajar dikurangi biaya untuk menjual). Aset ini harus disajikan sebagai kelompok terpisah sebagai “Aset Tidak Lancar Dimiliki untuk Dijual” dalam Laporan Posisi Keuangan (Neraca).
Sebelum terbitnya standar ini, tidak ada perbedaan klasifikasi dalam IFRS atau PSAK, antara aset tidak lancar yang dimiliki untuk digunakan dengan aset tidak lancar yang dimiliki untuk dijual, kecuali klasifikasi yang berhubungan dengan instrumen keuangan. Sementara US GAAP mengklasifikasikan aset tidak lancar menjadi dua kelompok: (1) dimiliki untuk digunakan, dan (2) dimiliki untuk dijual. IASB berpendapat bahwa penyajian informasi tentang aset atau kelompok aset yang akan dilepas akan memberikan manfaat bagi pengguna Laporan Keuangan. Informasi ini dapat membantu pengguna dalam menilai waktu, jumlah, dan kepastian dari arus kas masa depan. Dengan adanya suatu klasifikasi aset sebagai aset tidak lancar dimiliki untuk dijual membuat IFRS (dan tentunya PSAK) menjadi lebih lengkap dan lebih konvergen dengan standar lain, dalam hal ini US GAAP.
PSAK 58 berisi dua topik yang berkaitan yaitu: (1) Akuntansi untuk aset yang diklasifikasikan sebagai dimiliki untuk dijual dan (2) Operasi dihentikan.

Klasifikasi
Entitas mengklasifikasikan suatu aset tidak lancar sebagai “dimiliki untuk dijual” ketika nilai tercatatnya akan dipulihkan melalui penjualan, bukan melalui penggunaan. Klasifikasi ini juga berlaku untuk kelompok aset lepasan (disposal group), yaitu kelompok yang tediri dari beberapa aset tunggal dan mungkin juga termasuk beberapa liabilitas di dalamnya, yang akan dijual  dalam satu transaksi tunggal.
Pengertian dimiliki untuk dijual juga termasuk aset tidak lancar yang akan didistribusikan kepada pemilik. Ketentuan mengenai ini akan diatur lebih lanjut dalam ISAK No. 11 tentang Distribusi Aset Nonkas kepada Pemilik.
Walaupun klasifikasi aset ini diawali dengan intensi (niat) entitas untuk menjual, namun terdapat kriteria lain yang cukup spesifik, yang harus dipenuhi untuk memastikan objektivitas informasi ini. Kriteria ini juga dimaksudkan untuk memastikan keterbandingan (comparability) klasifikasi antar laporan keuangan entitas.
Kriteria suatu aset tidak lancar atau kelompok aset lepasan dapat diklasifikasikan sebagai aset dimiliki untuk dijual adalah sebagai berikut:
-          Aset harus tersedia dan berada dalam keadaan dapat dijual dan penjualannya harus sangat mungkin terjadi (highly probable);
-          Aset ini sudah dipasarkan secara aktif pada harga yang cukup masuk akal sesuai dengan nilai wajarnya kini;
-          Penjualan harus sudah diselesaikan, atau diharapkan dapat diselesaikan dalam jangka waktu 12 bulan sejak tanggal klasifikasi; dan
-          Tindakan yang diperlukan untuk menyelesaikan rencana tersebut sudah dilakukan sehingga mengindikasikan tidak mungkin terjadi perubahan signifikan atau pembatalan atas rencana tersebut.
Agar penjualan tersebut sangat mungkin terjadi, entitas harus berkomitmen untuk menjual dan secara aktif mencari pembeli. Mungkin saja penjualan ini tidak diselesaikan dalam waktu 12 bulan, asalkan penundaan ini bukan berasal dari kejadian yang berada di bawah kendali entitas dan entitas harus tetap berkomitmen untuk menjual aset tersebut.
Contoh:
Dalam suatu Rapat Direksi sebuah Perusahaan, disepakati niat untuk menjual gedung yang saat ini ditempati sebagai kantornya. Aktivitas mencari pembeli sudah dilakukan dan harga jual yang wajar sudah ditetapkan. Para karyawan akan tetap menempati gedung kantor tersebut dan tidak akan dipindahkan sementara ke tempat lain, sampai diperolehnya gedung baru dengan fasilitas dan lokasi yang cocok. Dalam hal ini Gedung tersebut tidak akan diklasifikasi sebagai aset tidak lancar dimiliki untuk dijual, karena tidak terpenuhinya kriteria aset dalam kondisi tersedia untuk dijual. Dengan tidak dipindahkannya para staf yang menempati gedung tersebut sampai ditemukannya gedung baru membuat Gedung tersebut tidak berada dalam kondisi siap dijual, walaupun niat dan harga sudah ditetapkan dan aktivitas mencari pembeli sudah dilakukan.
Pengukuran
Sebelum diklasifikasikan sebagai “aset tidak lancar dimiliki untuk dijual,” nilai tercatat aset diukur sesuai dengan PSAK terkait. Misalnya aset tetap,  diukur sesuai dengan PSAK No. 16. Sesaat setelah diklasifikasikan menjadi aset tidak lancar dimiliki untuk dijual, aset tersebut diukur pada nilai yang lebih rendah antara nilai tercatat dan nilai wajar neto. Nilai wajar neto adalah nilai wajar setelah dikurangi dengan biaya untuk menjual. Jika penjualan diperkirakan akan diselesaikan lebih dari 1 tahun dan telah memenuhi kondisi kriteria pengakuan, maka entitas harus mengukur biaya untuk menjual pada nilai kininya. Biaya untuk menjual contohnya adalah ongkos angkut dan biaya untuk memasarkan penjualan aset tersebut.
Pengukuran selanjutnya
Aset tidak lancar dan kelompok lepasan yang diklasifikasikan sebagai dimiliki untuk dijual tidak didepresiasi. Nilai wajar netonya dievaluasi setiap akhir periode.
Setelah klasifikasi awal, pada setiap tanggal neraca, aset ini harus dievaluasi apakah masih memenuhi kriteria sebagai aset tidak lancar dimiliki untuk dijual. Jika terjadi penurunan nilai wajar neto, maka penurunan nilai ini diakui sebagai kerugian di laporan laba rugi. Sedangkan jika di periode selanjutnya terjadi kenaikan nilai wajar neto, maka pemulihan penurunan nilai tersebut dapat diakui sebagai keuntungan, maksimum sebesar akumulasi penurunan nilai yang pernah diakui.
Pada saat aset tersebut akhirnya dilepas atau dijual, maka selisih antara nilai tercatat akhir dengan perolehan penjualan diakui sebagai keuntungan atau kerugian pelepasan, bukan sebagai penyesuaian terhadap penurunan nilai yang pernah diakui sebelumnya.
Kalau kita amati,  dengan diterapkannya dasar pengukuran tersebut, maka entitas akan mengakui rugi yang terjadi tidak hanya pada saat penjualan, tetapi juga pada saat keputusan menjual terjadi atau sebelum penjualan terjadi.
Penyajian dan Pengungkapan
Aset tidak lancar atau kelompok lepasan yang diklasifikasikan sebagai dimiliki untuk dijual harus disajikan terpisah dari kelompok aset yang lain yang ada di Laporan Posisi Keuangan. Untuk kelompok lepasan yang terdiri dari aset dan liabilitas yang dimiliki untuk dijual, juga harus disajikan terpisah di Laporan Posisi Keuangan, tidak boleh di-net-off.
Yang diungkapkan di Laporan Keuangan adalah:
-          Deskripsi tentang aset atau kelompok lepasan yang dimiliki untuk dijual
-          Deskripsi tentang fakta dan keadaan dari penjualan, atau yang mengarah kepada pelepasan yang diharapkan, dan cara serta waktu pelepasan
-          Kerugian penurunan nilai dan pemulihannya, jika ada
-          Jika dapat diterapkan, yaitu pengungkapan tentang segmen yang dilaporkan dalam aset tidak lancar dimiliki untuk dijual sesuai dengan PSAK 5 tentang segmen operasi
Jika kriteria sebagai aset tidak lancar dimiliki untuk dijual baru terpenuhi setelah tanggal neraca, maka aset tersebut tidak disajikan sebagai aset tidak lancar dimiliki untuk dijual, namun perlu diungkapkan dalam catatan laporan keuangan.
Aset tidak lancar yang akan ditinggalkan (abandoned) dan aset yang digunakan sampai akhir umur ekonomisnya kemudian dilepas, tidak dapat diklasifikasikan sebagai dimiliki untuk dijual. Aset ini masih didepresiasi sampai akhir umur ekonomisnya. Aset semacam ini tidak memenuhi kriteria sebagai aset dimiliki untuk dijual, karena manfaat aset ini akan diperoleh melalui pemakaian, bukan penjualan. Namun demikian, aset tidak lancar (atau kelompok lepasan) yang akan ditinggalkan dan memenuhi kriteria sebagai operasi dihentikan, maka entitas harus menyajikan arus kas dan laba rugi dari kelompok lepasan tersebut sebagai operasi dihentikan pada tanggal aset tersebut dihentikan pemakaianannya. Entitas tidak boleh mencatat aset tidak lancar yang tidak digunakan sementara seakan-akan seperti telah ditinggalkan.
Perubahan Rencana
Jika entitas merubah rencananya dan memutuskan untuk tidak menjual aset ini, maka kriteria sebagai aset tidak lancar dimiliki untuk dijual tidak terpenuhi lagi. Pada tanggal keputusan  dibuat, aset ini harus dinilai pada nilai yang lebih rendah antara nilai tercatat awal sesaat sebelum direklasifikasi (disesuaikan dengan depresiasi, amortisasi atau revaluasi) dan nilai yang dapat terpulihkan (recoverable amount).
Operasi yang Dihentikan
Operasi yang dihentikan (discontinued operation) adalah suatu komponen dalam entitas yang dilepas atau diklasifikasikan sebagai dimiliki untuk dijual, dan:
-          Mewakili lini usaha atau area geografis operasi utama yang terpisah, atau
-          Bagian dari rencana tunggal terkoordinasi untuk melepaskan lini usaha atau area geografis operasi utama yang terpisah, atau
-          Entitas anak yang diperoleh secara khusus dengan tujuan dijual kembali
Penyajian Operasi yang dihentikan
PSAK 58 mensyaratkan pengungkapan terinci mengenai pendapatan, beban, laba atau rugi sebelum pajak, secara terpisah di Laporan Laba Rugi dan di Catatan atas Laporan Keuangan. Sedangkan pada Laporan Arus Kas, arus kas bersih dari aktivitas operasi, investasi dan pendanaan yang terkait dengan Operasi Dihentikan harus disajikan terpisah. Ini dilakukan agar jelas terlihat, mana arus kas yang berasal dari Operasi Berlanjut, mana yang berasal dari Operasi Dihentikan.
Dengan demikian dapat kita simpulkan bahwa mungkin saja suatu aset (atau kelompok lepasan) yang memenuhi kriteria sebagai aset dimiliki untuk dijual dapat juga memenuhi kriteria sebagai Operasi yang Dihentikan. Aset ini akan disajikan terpisah baik di Laporan Posisi Keuangan, sebagai Aset tidak lancar dimiliki untuk dijual dan di Laporan Laba Rugi serta Laporan Arus Kas, sebagai Operasi Dihentikan. Selain itu mungkin saja kriteria klasifikasi hanya terpenuhi salah satu. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Tabel  di bawah ini.
Kriteria yang terpenuhi
Kondisi
Penyajian di Laporan Keuangan
Aset Tidak Lancar Dimiliki untuk Dijual dan Operasi Dihentikan
Aset dihentikan penggunaannya dan akan dijual serta memenuhi kriteria sebagai Operasi Dihentikan
Laporan Posisi Keuangan: Aset Tidak Lancar Dimiliki untuk Dijual
Laporan Laba Rugi dan Laporan Arus Kas: Operasi Dihentikan
Aset Tidak Lancar Dimiliki untuk Dijual
Aset dihentikan penggunaannya, tidak memenuhi kriteria sebagai Operasi Dihentikan karena bukan suatu lini operasi/area geografis terpisah
Laporan Posisi Keuangan: Aset Tidak Lancar Dimiliki untuk Dijual
Laporan Laba Rugi dan Laporan Arus Kas: Operasi Berlanjut
Operasi Dihentikan
-       Aset yang akan ditinggalkan dan tidak memenuhi kriteria sebagai aset tidak lancar dimiliki untuk dijual
-       Kelompok aset (operasi dihentikan) yang telah dilepas pada periode berjalan
Laporan Posisi Keuangan:
-       Aset Lancar/Tidak Lancar atau
-       Tidak muncul lagi karena telah dilepas pada periode berjalan sebelum tanggal neraca
Laporan Laba Rugi dan Laporan Arus Kas: Operasi Dihentikan

Pengungkapan Operasi yang dihentikan
Selain penyajian terpisah pada Laporan Laba Rugi dan Laporan Arus Kas, pengungkapan berikut ini juga harus ditambahkan, yaitu:
-          Penyesuaian yang dibuat pada periode berjalan terkait dengan Operasi Dihentikan
-          Jika entitas menghentikan klasifikasi sebagai komponen aset tidak lancar dimiliki untuk dijual, maka hasil yang sebelumnya disajikan sebagai Operasi Dihentikan harus direklasifikasi dan dimasukkan ke dalam Laba dari Operasi Berlanjut.
Penutup
PSAK 58 (R2009) berlaku efektif untuk periode tahun buku yang dimulai pada 1 Januari 2011 atau setelahnya. PSAK 58 (R2009) diterbitkan sekaligus menggantikan PSAK 58 yang lama (R2003) tentang Operasi Dihentikan.
PSAK ini diterapkan secara prospektif setelah tanggal efektif berlakunya. Pada PSAK 58, disajikan juga Lampiran yang menjadi satu kesatuan dengan PSAK 58. Lampiran A berisi definisi istilah yang diatur dalam PSAK 58, di antaranya adalah pengertian Kelompok Lepasan, kondisi sangat mungkin terjadi (highly probable). Selain itu, juga terdapat Lampiran B yang berisi penjelasan tentang kondisi perpanjangan periode yang diperlukan untuk menyelesaikan penjualan.

Referensi
Epstein., Barry J., Jermakowiczs, Eva K., 2010. Interpretation and Application of International Financial Reporting Standard, New Jersey, John Wiley & Sons, Inc.
International Accounting Standards Committee Foundation, 2008. IFRS 5 Non-current Assets Held for Sale and Discontinued Operations.

Ikatan Akuntan Indonesia, 2009. PSAK No. 58 tentang Aset Tidak Lancar Tersedia untuk Dijual, Jakarta.
Lam, Nelson., Lau, Peter, 2009. Intermediate Financial Reporting: an IFRS Perspective, Mc Graw Hill.

(akan terbit sebagai artikel di EBAR (Economic, Business and Accounting Review, 2011)